Sydney: On Being Neat, A Student, Sushi Eater and Karaoke Singer

1. "Your room is so neat!"

Sore itu aku lagi baca berita di The Jakarta Post online saat Peter dan Vanessa masuk ke kamarku. "I wonder how your room could be so neat. It's so minimalist," kata Vanessa sambil memandangi kamarku. "I've got a lot of things in my room. I can't be this neat," lanjutnya. Denger dia ngomong gitu, aku memutar kursiku dan menatapnya dengan bingung. "Well, I don't know. I think it's just... you know, like my father always asks me to clean my room." "Like you always throw things out if you don't need it anymore?" tanya Vanessa. "Hm, not really," jawabku. Aku makin bingung mau jelasin kayak gimana, soalnya kedua orang tuaku emang concern banget sama kerapian dan kebersihan. Sejak kecil, aku selalu disuruh bersihin kamar sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga. Saking kebiasaan apa-apa sendiri, aku suka heran kalo liat temen yang dibantu 'asisten'nya pas bersihin kamar.

Pas udah gede gini, aku nyadar kalo aku makin jadi "neat-freak" layaknya Jerry Seinfeld yang selalu nata rapih cereal box-nya di laci. Aku suka gemes sendiri kalo liat sesuatu yang 'melenceng' dari tempatnya, out of order, ataupun nggak sejajar dengan barang di sebelahnya. Contoh kecilnya adalah merapikan letak botol toiletries di kamar mandi apartemen. Karena kamar mandi ini dipake sama 4 orang sekaligus, otomatis botol-botol kami nggak muat ditaruh di rak kecil yang udah disediain sama manajemen. Kami cuma bisa naruh 'gitu aja' di lantai shower box. Anehnya, aku suka merasa 'tergelitik' kalo misal botol-botolnya nggak berbaris rapi gitu. Langsung deh aku tata lagi letaknya sampe terlihat sejajar satu sama lain.

Same thing happens saat aku ngeliat dapur apartemen yang 'rentan' berantakan. Namanya orang yah, kadang males gitu 'kan naruh piring-piring yang abis dicuci di tempatnya lagi. Apalagi kalo lagi sibuk (ato sengaja sibuk?), pasti nggak sempet lah ambil piring satu, ngelap sisa-sisa basuhannya, buka laci, terus make sure supaya piringnya nggak 'tabrakan' sama sebelahnya. Gara-gara suka nggak tahan liat tumpukan peralatan makan yang udah kayak gunung, aku suka voluntarily ngerapihin itu. Saat housemateku noticed itu, mereka bilang, "Thanks for doing that." Lucu ya kalo dipikir. Sebegitu suka rapinya sampe-sampe temen di Indonesia nyebut aku "Kiza anak simetris".......

2. "Wait, you had 12 subjects in one semester?"

Sambil nunggu jarum jam nunjukin pukul 18.30, aku ngobrol sama Peter yang lagi tengkurep santai di kamarku. Dia lagi ngecek nilai mata kuliahnya di hape dan tanya, "Were you doing good in your bachelor's degree?". Aku muter mata. "Hm....yeah, I could say that." "Did you get mostly A?" tanya Peter lagi. "Well, yeah... but I got B too. You know, it wasn't that hard," kataku setelah bikin perbandingan super kilat antara bobot kuliah S1 dan S2-ku. Air muka Peter mulai berubah, dia jadi penasaran. "How many subjects did you take in one semester?" tanyanya. "Twelve...?" aku segera menambahkan sebelum Peter loncat terkaget-kaget. "It's because one subject equals to two credits and I had to take at least 24 credits in one semester. So, yeah, I had twelve subjects."

Peter makin penasaran. "Twelve subjects! You seemed to make it pretty easy. Oh, I shouldn't have been whining about my results." katanya sambil mendengus lemes. Aku ketawa dan menjelaskan kalo hal itu normal terjadi di Indonesia. Nggak sebanding sama anak-anak S1 sini yang ambil 4 mata kuliah dengan bobot 6 sks setiap subject. "But how could you make it fair?" Peter terlihat masih bingung. "Okay, so you guys are taking four subjects in a semester. One subject equals to 6 credits. For us, 6 credits are like... you're writing a thesis," jelasku. Aku harap Peter ngerti gimana 'overwhelming'nya dapet 4 mata kuliah dimana bobot satu matkul itu udah kayak skripsi. "Oh, okay. Yeah, yeah." Peter mengangguk mengerti. Aku jelasin lagi kalo murid-murid di Indonesia itu kayaknya kebanyakan ambil (atau harus ambil) subjects pas sekolah, yang akibatnya bikin kita kurang fokus. Peter pun lanjut mengangguk dan aku pamit pergi ke City.

3. 14 plates of sushi dan karaoke lagu "Surti Tejo" di Sydney!

Aku sampai di mall The Galeries jam 7 malem. Limabelas menit lebih awal dari waktu janjianku, Anty dan Karina. Yup, malem itu aku akan mentraktir mereka makan sebagai perayaan ulang tahunku. Pilihan kami jatuh di Sushi Hotaru yang terletak di Level 1. Sesampai disana, kami masuk dalam Waiting List karena banyaknya orang yang mau dinner disitu. Setelah nunggu belasan menit, aku, Anty dan Karina masuk dan duduk di meja sempit yang dilengkapi dengan iPad. Aku sempet berdecak kagum ala "ndeso" gitu pas liat. I mean, sebegitu "bondo"-nya restoran ini sampe naruh iPad di setiap meja sebagai alat penampil menu, pemesan makanan/minuman, dan pemanggil waiter. Maklum nggak pernah liat begituan di Surabaya. Apa udah mulai ada yah sekarang? Entahlah.

Layaknya orang abis puasa, semua piring yang berjejer di sushi bar itu terlihat menarik. Bolak balik aku menggumam, "Hm, ini enak. Eh, tapi yang itu keliatan lebih enak. Eh, yang mana yah?" Bingung sendiri deh. Tapi akhirnya kami bertiga ambil aja yang menarik mata semacem sashimi dan sushi-sushi yang mengandung ikan-ikanan, ayam dan keju. Kami juga memesan wagyu beef omelette yang enak banget. Sampe-sampe nggak kerasa kami udah abis 14 piring aja. Sangat kenyaaaang. Terus Anty nyeletuk, "Eh, ini masih kalah sama yang waktu itu kita makan bareng Audrey. 18 piring buat tiga orang." Aku ketawa mengingat ke'kalap'an kami pas di Sushi Rio. Kami menghabiskan sushi 18 piring, yang berarti 1 orang rata-rata makan 6 piring. Mungkin nggak ada apa-apanya sih ya kalo emang ada yang bisa sampe 10 piring dalam sehari. But still, we ate a lot that time.

Itu lho iPadnya.... *salahfokus*
(Foto: Karina)
Siap makan!
(Foto: Karina)
oops.

"Gimana kalo abis ini kita karaoke?" tiba-tiba Karina mengerlingkan matanya ke arah aku dan Anty. Kami segera menyambut ajakannya dengan antusias. Kelar membayar bill, kami bertiga jalan kaki menuju Bathurst Street dan masuk kedalam sebuah bangunan, yang ternyata adalah Big Echo Karaoke Box. Terlihat sepi dan nggak ada siapa-siapa didalam. Aku sempet nggak percaya itu tempat karaoke sih, abisnya dari luar terlihat strange...hm gimana yah, susah mendeskripsikannya. Remang-remang dan ditemani suara dari TV besar yang nampilin music video seorang Korean pop singer. Kami jalan lurus melewati koridor dan mataku 'menangkap' sebuah floor lamp berbentuk anjing hitam unik di sisi kanan. "Lucu sekali!" batinku. Aku langsung membayangkan gimana kalo rumahku nanti punya begituan.

Ketika sampai di meja resepsionis, kami disambut oleh banyaknya poster bertuliskan informasi dalam bahasa Mandarin. Disitu pun juga terdapat free magazines dengan cover wanita muda Asia yang berkulit putih kinclong, mata kecil, rambut diwarnai cokelat kemerahan plus senyum lebarnya. Aku jadi inget suatu majalah di Surabaya yang punya cover seperti itu. Sambil memandangi keadaan sekitar, aku nggak sadar kalo ada orang yang berdiri dibelakang rak majalah. Sepertinya doi security gitu, karena pake baju bernuansa kuning neon dan raut mukanya serius. Dia bilang yang in-charge akan datang sebentar lagi. Kami pun mengangguk dan melenggang awkward di sekitar situ.

Beberapa menit kemudian, seorang lelaki berparas Chinese datang. Keliatannya dia abis serving drinks ke guests yang ada di tempat karaoke itu. Karina tanya masih ada room yang available nggak. Dia bilang masih. Oke kami keluarin duit AUD 12 dari dompet dan membayar room fee-nya. Laki-laki itu pun bergerak keluar dari bilik mejanya dan memberi aba-aba semacam "Follow me". Dia juga mengisyaratkan kalo kita dapet free drink dari vending machine disana. Setelah memilih minuman, aku, Anty dan Karina menuju ruangan yang ditunjuk mas-mas tadi, yaitu ruangan bernomor 20. Pas dibuka, kami takjub ngeliat how big the room was. Terlalu besar untuk kami yang cuma bertiga. Kayaknya muat sampe belasan orang deh, batinku begitu.

It's been a while sejak terakhir aku pergi karaoke. Kayaknya terakhir taun 2009 deh pas sama temen-temen les bahasa Inggris. Astaga hampir 6 taun lalu! Lama juga yah. Selain karena sadar diri gara-gara suara ini tipenya "penyet", aku juga bukan tipe orang yang doyan nyanyi, even di dalam kamar mandi. Aku lebih jadi yang dengerin, mencermati liriknya, terus syukur-syukur kalo bisa mainin itu di piano. Itupun kalo lagi mood dan niat banget. Anyway, so here we are. Di sebuah ruangan karaoke gelap yang menyediakan 2 wireless mic dan 2 mic berkabel. Satu TV besar dan satu screen navigasi. How I miss being in a karaoke room! Kayaknya hal yang sama juga dirasain Anty dan Karina deh. Karina langsung semangat gitu milih-milih lagunya di pojokan ruangan.

Aku lupa lagu pertama kami apa saat itu. Yang jelas aku surprised ketika mereka punya stok lagu Indonesia, contohnya punya Jamrud, Sheila On 7, Dewa, Project Pop, Ada Band, Maliq and D'Essentials sampe Tulus dan Raisa. Yang lebih hilariousnya lagi, mereka nyisipin video binatang-binatang lalu lalang di Taman Safari saat lagu "Pupus" nya Dewa yang haru biru itu! Sumpah deh, saat itu bikin ngakak banget. Mana sempet ada scene dimana muka unta di close up banget pas lirik lagi 'dalem-dalem'nya. Ngajak becanda banget pokoknya.

Karya Karina! :))))
#eaaaa
Kusadari cintaku pada..... unta?
Jauh-jauh ke negeri seberang cuma buat nyanyi "Surti Tejo", haha. Anyway, foto ini juga udah aku upload di Path dengan caption yang sama.
Nggak kerasa tiba-tiba udah jam 12 malem. Lagu "F For You" dari Disclosure ft. Mary J Blige masih mengalun. "I've been infected with restless whispers and cheats / That manifested in words and lies in your speak...". Begitu terus sampe layar karaoke dinonaktifkan. Kami tersenyum puas dan segera bersiap untuk pulang. Ah, malam yang menyegarkan!

Cewek nggak bisa liat kaca toilet nganggur :p
(Foto: Karina)

Doodle yang aku buat saat nggak bisa tidur. Waktu itu lagi dengerin Björk yang album Volta. Tepatnya pas lagu "The Dull Flame of Desire".

Comments