Free Days di Sydney

Mulai tanggal 13 Juni 2015, bisa dibilang aku udah 'free' dari kegiatan kampus. Ya, tugas-tugas akhir sudah aku kumpulkan dan kini tinggal menanti hasil. Jadinya lah aku punya waktu untuk kembali menulis blog, entah hanya sekedar menceritakan pengalamanku atau mencurahkan pikiran-pikiran yang cenderung reflektif. Hehe. Okay, inilah rekapitulasi minggu pertama!

Senin, 15 Juni 2015 

1. Ke Light Show di Museum of Contemporary Art, Australia

Sebenernya udah dari dulu aku sama Anty pengen ke pameran ini, tapi kemaren emang baru sempet gitu. Dengan berbekal duit AUD 20, kami siap mengantri didepan counter tiket bersama rombongan ibu muda, para bayinya dan dua kakek lokal. Sambil menunggu, sesekali aku curi pandang ke para ibu ini dan bayi-bayinya yang di stroller. How cute, batinku. Cute dalam arti mereka sama-sama bawa anak dan ke pameran seni. I mean, aku jarang ngeliat hal itu di kota asalku, dimana setauku mama-mama muda kalo ngumpul ya di mall sambil makan bareng gitu, ato mungkin belanja (?). Tapi disini, mereka memilih ke gallery yang bisa dibilang di pucuk Sydney CBD dan menikmati karya-karya hebat disana.

Pandanganku pun beralih ke dua kakek yang mengantri di sebelah aku dan Anty. Hal yang sama kurasakan saat ngeliat ibu-ibu tadi. Maksudku, di kota maju seperti Sydney ini, aku bisa ngerasain kalau karya seni itu dinikmati oleh masyarakat dari seluruh umur. Nggak kayak di Surabaya yang kalo pameran macem gini ini mungkin akan banyak dinikmati anak muda. Intinya, di Sydney aku sering merasa kalo kegiatan seni berbudaya itu nggak cuma banyak dilakukan sama mereka yang in their twenties, tapi juga sama para elderly yang 'kakung' banget ato anak-anak SD. Bahkan pameran yang "kvlt" macem Zine Fair aja nyisipin activities yang bisa diikuti anak-anak. Jadi aku semacem surprised aja dan semacem salut sama budaya disini.

Setelah ibu-ibu itu kelar bertransaksi, aku dan Anty maju ke counter dan disambut ramah oleh staff MCA. Seperti biasa mereka menyapa, "Hi, how's it going?". Udah hapal sama custom tersebut, kami jawab, "Good. Thanks." Kami bilang kalo pengen ke Light Show dan staff tersebut mengiyakan. Tiba-tiba Anty nyeletuk dan tanya kita bisa nggak masuk pake harga Concession, bukan harga Adult. Ternyata bisa. So, instead of paying AUD 20, aku dan Anty beli tiket ke Light Show dengan harga AUD 15 per orang. Lumayan lebih murah AUD 5, bisa dibuat beli kopi satu hehe (kembali beberapa cents malah). 

Tiket ke Light Show yang aku foto beberapa hari selanjutnya. Hehe.

Sesampe di area pameran, kami berdua menyusuri karya 17 seniman internasional yang sebelumnya ditampilkan di Hayward Gallery, London. Para seniman ini ialah James Turrell, David Batchelor, Jim Campbell, Carlos Cruz-Diez, Bill Culbert, Dan Flavin, Ceal Floyer, Jenny Holzer, Ann Veronica Janssens, Brigitte Kowanz, Anthony McCall, François Morellet, Iván Navarro, Katie Paterson, Leo Villareal, Conrad Shawcross dan Cerith Wyn Evans. Kebetulan favoritku adalah karya dari seniman dengan nama awalan C, yaitu Carlos Cruz-Diez dengan "Chromosaturation" (2008), Cerith Wyn Evans dengan "S=U=P=E=R=S=T=R=U=C=T=U=R=E (‘Trace me back to some loud, shallow, chill, underlying motive’s overspill…’)" (2010) dan Conrad Shawcross dengan "Slow Arc Inside a Cube IV" (2009). Karya mereka ini sukses bikin aku melongo-longo karena lovely banget kalo diliat dan 'dirasakan'.

Sayangnya, para pengunjung nggak dibolehin foto-foto karena lampu flash dari kamera bisa "interfere" sama artworksnya dan ganggu "experience" orang lain. Tapi yang namanya orang-orang era socmed yah, maunya tetep foto diem-diem biar hasilnya bisa ditunjukin ke publik. Alhasil kalo kita search "#mcalightshow" di Instagram, kita bakalan liat seratusan foto saat orang mengunjungi pameran ini. Kalo kata Anty, mungkin kita nggak dibolehin foto karena ini pameran yang memungut biaya. Hm, make sense juga sih.

Ini BUKAN karya yang terdapat di Light Show, melainkan karya di salah satu ruang pamer Museum of Contemporary Art. Abisnya boleh difoto sih :p

2. Jalan kaki menyusuri Sydney Harbour Bridge

Kelar liat Light Show, aku dan Anty buka Google Maps buat liat arah menuju Sydney Harbour Bridge. Anty nyuruh aku buat inget-inget lagi jalan kesananya gimana. Oh my, urusan inget jalan ini emang kelemahanku. Dulu sih aku udah pernah kesana pas ikutan day trip kampus bareng international students lain, tapi entah kenapa aku lupa jalan menuju sana. Abisnya waktu itu kami dipandu sih, bukan cari sendiri. Akhirnya setelah coba rute sana-sini, aku dan Anty nyampe juga di jembatannya. Pemandangan awal yang kami liat ialah rentetan orang yang lagi jogging. Aku langsung, "Waduh kayaknya aku salah pake sepatu deh," sambil liat sepatu Docmart ku yang notabene lumayan berat. Trus Anty bilang, "Ya dicoba aja jalan sampe tengah-tengah. Kalo capek, baru kita balik lagi." Merasa seperti 'kalah' kalo misal kayak gitu, aku segera meyakinkan diri kalo the boots won't mess with me, karena emang udah terbiasa pake itu kemana-mana.

Salah satu bangunan di kawasan The Rocks yang menarik perhatianku. Bisa matching gitu yah warna tanemannya sama garasinya :)

Menurut website resmi Pemerintah Australia, Sydney Harbour Bridge mulai dibangun tahun 1924 dan dibuka pada tahun 1932. Saat pengerjaannya, 16 pekerja kehilangan nyawanya dan rumah 800 keluarga dihancurkan tanpa kompensasi. Walopun begitu, jembatan ini menempati urutan ke-6 buat kategori "the longest arch bridge spans" dengan bentangan sepanjang 503 meter ato 1.650 kaki. Sydney Harbour Bridge juga diklaim sebagai "the world's largest steel arch bridge" dengan bagian atas jembatan yang berdiri 134 meter dari permukaan air laut (statistik ini terakhir diapdet bulan Agustus taun 2008).

Untuk para pejalan kaki seperti aku dan Anty, pemerintah Australia nyediain fasilitas footway di bagian timur Sydney Harbour Bridge yang dikenal juga dengan sebutan "The Coathanger". Terakhir pas aku kesana sih footway-nya udah dikasih tanda dua arah sepanjang jalan, jadi ngga ada ceritanya orang jalan ditengah-tengah dan ganggu arus. Ini termasuk salah satu topik pembicaraanku sama Anty pas jalan. Aku semacem menggumam, "Wah, mau jalan di jembatan aja ada aturannya ya." Anty nge-respon, "Iya, hal-hal kecil begini aja diatur. Emang sih kalo mau bikin Indonesia jadi lebih baik, ya harus mulai dari culture orang-orangnya dulu." Aku mangut-mangut tanda setuju. Terus Anty bilang, "Ini kalo di Indonesia udah ada orang-orang yang jualan di pinggir jalan." Kami langsung ketawa-ketiwi ngebayangin bedanya suasana jembatan di Sydney dan di kota-kota Indonesia. Tapi didalem ati mungkin kami merasa miris, karena disini aja orang mau diatur sampe ke masalah jalan kaki di jembatan. Selama pengamatanku, orang-orang sini ya nurut aja gitu sama aturan yang berlaku. Mereka yang dateng dari arah The Rocks ya jalan di samping kiri, yang dateng dari arah North Sydney jalan di sebelah kanan. Menarik ya. Coba kalo di Indonesia, mungkin kita-kita ini udah menyebar dan sibuk ber-selfie/wefie ria sepanjang jembatan. Sampe orang yang mau jalan mungkin ikutan nengok atopun harus 'menggak-menggok' demi menghindari orang lain.

Sydney Harbour Bridge, 15 Juni 2015.

Terus aku mikir lagi ketika melihat security guards yang berjaga di sepanjang jembatan. Aku tanya ke Anty, "Eh itu security buat apa ya ditaruh disini? Kan udah ada CCTV gitu." Anty bergidik nggak tau dan becanda kalo Australia kebanyakan duit, jadi mampu naruh staff buat jagain jembatan. Aku ikut ketawa, tapi masih terheran-heran juga karena hal semacem gini nggak ada di Indonesia. Masa ada gitu 'kan satpam yang tiba-tiba ditaruh di tengah jembatan. Yang ada malah tadi tuh, penjual asongan ataupun (maaf banget) pengemis. Nah di Sydney Harbour Bridge ini, aku  ngeliat dua penjaga yang terlihat hanya berdiri memantau keadaan setempat. Sesekali aku liat mereka jalan beberapa langkah juga sih, tapi aku nggak tau mau ke arah mana. Pas aku nulis postingan ini, aku jadi penasaran dan nyoba browse kenapa ada guards yang ditaruh di jembatan tersebut.

Tigabelas tahun lalu tepatnya 28 November 2002, salah satu program di ABC Local Radio, The World Today, udah ngebahas masalah keamanan di Sydney Harbour Bridge. Dalam transcript program itu, Paul Willoughby dari the New South Wales' Roads and Traffic Authority bilang, "There are huge numbers of people obviously who cross the bridge on a daily basis. There's more than 100,000 vehicles, there's pedestrians, there's cyclists. There's thousands of people on trains in both directions. It's simply not possible and we don't want to, we're not trying to check those people. But this is a visible presence on the bridge. It's people who are patrolling the bridge and have an ability to provide an alert to police if that's necessary." Dari statement itu, aku menyimpulkan kalo security guards itu ada di jembatan simply buat patroli dan ngebantu ngasih alert ke polisi kalo ada apa-apa. Bukan buat ngecekin barang orang yang keluar-masuk jembatan satu-satu, seperti apa yang didiskusiin presenter dan vox pop pas siaran saat itu.

Ternyata menyusuri Sydney Harbour Bridge juga nggak sejauh itu kok, cuma 1 kilometeran jalan yang berarti sama dengan 1.500-an langkah (ini estimasi dari website sih). Lumayan. Nggak kerasa juga karena disambi ngobrol sama Anty. Kalo sendirian, apa kerasa lebih capek ya? Nggak juga rasanya. Abisnya selama jalan, para pedestrian bisa menikmati pemandangan landscape pelabuhan Sydney yang sibuk. Sydney Opera House yang cantik pun juga terlihat dari atas; bener-bener bikin foto jepretan kita makin "Instagramable" :p. Kalo pengen yang lebih serius, bisa mampir ke Pylon Lookout dimana visitors bisa belajar tentang sejarah dan konstruksi Sydney Harbour Bridge. Aku sama Anty sih pilih jalan terus aja, karena akan ada biaya kalo mengakses site itu secara keseluruhan. Hehe, maklum duitnya udah dibuat nonton Light Show :)))

Pemandangan yang aku potret dari Pylon Lookout.

Pasangan yang jalan didepanku ini soswit lho. Hehe nggak penting. Nggak ada maksud stalking mereka kok, ini cuma kebetulan pada masuk di frame foto aja.
Sesampai di ujung jembatan, aku dan Anty jalan menuju Milsons Point Station untuk tujuan berikutnya, yaitu Sydney CBD. Kami emang berencana window shopping di mall sekitaran sana, terutama The Galeries dimana Muji baru aja buka di Sydney. Aku juga kepikiran mau ke Kinokuniya Bookstore buat ngecek titipan Pucan. Yaudah, akhirnya kita turun di Town Hall Station dan jalan menuju mall itu. Aktivitas kami di sore hari yang mendung itu berakhir di suatu kafe (aduh lupa namanya!) yang nyediain merk kopi favorit Anty. Karena lagi agak flu, aku mesen teh Lemongrass and Ginger. Pas pesenanku dateng, ternyata aku langsung dikasih 1 teapot gede gitu. Sukses dah bikin badan jadi makin enak besoknya.

Selasa, 16 Juni 2015

Late dinner di Lulu and YumYum dan makan dessert di Max Brenner Chocolate Bar

Kelar acara surprise ultahku, aku, Anty dan Karina makan malem di Lulu and YumYum, sebuah dumpling house yang 'keren' dan (ehem) cukup hipster di Newtown. Disana kami memesan 3 menu makanan, salah satunya adalah Flying Seafood Dumpling. Merasa kurang kenyang, kami bertiga mampir ke Max Brenner Chocolate Bar di deket apartemenku untuk sebuah dessert. Disana, Karina memesan hot dark chocolate, sementara aku dan Anty memesan cheesecake karena tergiur dengan tampilannya. Udah ngerasa cukup kenyang, kami sempet mikir mau lanjut ke Sydney CBD buat karaokean. Tapi akhirnya nggak jadi karena merasa udah terlalu malem (padahal ya masih jam 11 sih).

Rabu, 17 Juni 2015

1. Brunch di Cafe Shenkin, Enmore

Sehari setelah ulang taunku, Karina, Anty dan aku jalan kaki dari Newtown ke Enmore untuk brunch bareng. Ya, brunch culture di Australia emang masih hangat dibicarakan. Berbeda dengan New York dimana brunch "comes with benefits" seperti alkohol, brunch di Australia lekat dengan pressed juices dan kopi. Aku sendiri biasanya kalo di Indo nggak pernah brunch, karena emang selalu bangun pagi jadi jatuhnya breakfast. Tapi kalo disini, entah kenapa bangunnya siang melulu kalo nggak ada plan apa-apa. Mungkin karena hawanya yang 'kemul-able' ya, bikin mata pengen lama-lama merem dan menikmati lanjutan mimpi indah semalem. Hayah.

Anyway, malemnya aku sempet browsing kafe apa di Enmore yang enak buat brunch. Salah satu hasil yang keluar ialah Cafe Shenkin yang tersebar di kawasan-kawasan 'hip' Sydney, macem Newtown, Enmore, Erskineville dan Surry Hills. Di malem itu, Karina tertidur dikala aku lagi browsing karena dia abis minum obat flu. Alhasil kami belum bener-bener bikin keputusan akan makan dimana. Jadinyalah di pagi hari itu kami mutusin jalan aja menyusuri Enmore dan pilih tempat makan saat itu juga.

Pas didepan Cafe Shenkin tepatnya di 129 Enmore Road, the three of us were like "Eh, gimana? Disini aja kali ya." Kami pun masuk ke kafe kecil yang bernuansa hangat dan friendly itu. Sayang banget waktu itu aku lupa nama makanan yang kami pesen, yang jelas aku pesen Chai Latte dan Karina sempet nambah Apple Babka, kue ragi manis khas Polandia. Babka yang dipesen Karina ini ENAK banget, bikin aku jadi pingin balik lagi deh kesana. 

2. Mengunjungi graffiti site di Phillip Lane, Enmore

Kenyang makan, kami bertiga semacem bingung mau ngapain lagi. Karina musti cabut jam 1, sementara aku dan Anty berencana ke pameran foto di State Library of New South Wales. Mumpung di Enmore, akhirnya kami jalan ke sebuah gang yang penuh graffiti di Enmore. Tepatnya di sekitar Thurnby Lane, Wilford Street dan Phillip Lane. "Kamu kok bisa tau tempat-tempat ini sih?" tanya Karina saat itu. Aku jelasin kalo waktu itu aku emang jalan kaki aja menyusuri Newtown dan Enmore, liat kanan kiri, masuk ke gang-gang demi ngedokumentasiin graffiti yang aku pake buat tugas kuliah. "Sendirian?" Karina balik tanya. "Iya," jawabku. Sambil jalan memasuki Thurnby Lane, kami pasang mata secara seksama, cari spot yang bagus buat foto-foto. Ehe, biasa cewek gitu loh.

Phillip Lane, Enmore.

Ketika ngeliat mural gambar cewek di pojokan Phillip Lane, kami jadi tertarik mengeksplor gang itu. "Pas aku foto-foto, waktu itu ada artist yang lagi gambar disini gitu. Tadinya mau aku wawancara buat tugas, tapi nggak jadi deh," ceritaku sambil nyengir. Yes, waktu itu aku emang sempet ngeliat ada dua orang lagi pegang spray can dan lagi bikin artwork. Sayangnya, aku malu-malu dan memutuskan ngelewatin mereka yang seharusnya bisa jadi narasumber artikelku. Tapi ternyata bener, aku udah punya cukup banyak narasumber buat artikel 1000 kata itu dan keputusanku nggak wawancara 2 orang itu bisa dibilang cukup wise (?).

Pas masuk Phillip Lane, kami bertiga tercengang gitu karena graffiti disitu bagus-bagus! Aku jadi nyesel karena nggak ngefoto itu dan naruh di artikelku. Tapi yaudahlah, namanya juga dikejar waktu juga. Lagian sang dosen juga kasih nilai yang bikin aku semacem "Yang bener nih, Pak?", hehe Thank God deh. Ngeliat karya apik kanan kiri, lucunya kami bertiga jadi semacem bagi-bagi spot foto. Pilihanku jatuh di sebuah karya bernuansa kuning yang aku pikir cukup mewakili karakterku (ih apaan sih, Kiza. Haha becanda), Anty pilih yang warna biru dan Karina pilih yang di seberang itu, which is nuansa hitam putih. Pokoknya seneng deh disana, karena sepi juga nggak ada orang yang ngeliatin.


Anty yang lagi berpose.


Karina yang lagi bermaksud 'mengerjai' ku saat aku pengen motret graffiti dibelakangnya. Kupikir-pikir lucu juga jadinya :)

3. Lagi-lagi ke Marrickville Metro Shopping Centre buat pinjem toilet

It happened again. Tiba-tiba perut kami bertiga berdesir, minta 'dituntaskan' urusannya. Jadinya kami jalan cepet ke Marrickville Metro Shopping Centre buat pake toiletnya (lagi).

4. Menikmati pameran foto di State Library of New South Wales

Didalam perpustakaan umum ini, aku dan Anty terkesima sama foto-foto yang ditampilkan as part of three exhibitions, yaitu World Press Photo 2015, Amaze, dan Sydney Morning Herald Photos1440. Aku nggak bisa bilang mana favoritku yah, yang jelas karya-karya photojournalism disitu hebat semua! Kalo kata temen sih bikin merinding. Bener juga. Foto-foto disana emang mampu menimbulkan beberapa reaksi emosional para pengunjung. Aku pun sempet spotting salah satu pengunjung wanita yang bergeleng-geleng saat ngeliat foto tentang negara China. I mean, sebegitu powerfulnya sebuah foto sampe bikin orang terheran-heran, terharu, simpatik, marah, jijik, senang, nostalgic atau apapun.

"In books lies the soul of the whole Past Time: the articulate audible voice of the Past, when the body and material substance of it has altogether vanished like a dream." (Thomas Carlyle)

Suasana library. Cantik ya!

5. Melihat double rainbow

Sepulang dari pameran foto itu, aku dan Anty sempet late lunch di Jamie's Italian Sydney, makan dessert bernuansa green tea di Chanoma Cafe, sampe akhirnya kami berpisah di kawasan Haymarket. Anty memutuskan buat langsung pulang ke apartemennya, sedangkan aku menuju ke Priceline buat cari make up remover. Seselesainya dari Priceline, aku milih jalan kaki sampe rumah karena waktu itu lagi peak hour dan aku berasumsi kalo bis bakalan rame.

Pas ngelewatin Railway Square, aku ngeliat orang-orang pada menengadah keatas gitu, semacem liat langit. Aku noleh 'kan, oh ternyata ada double rainbow yang cantik! Warna pelanginya pekat gitu dan terlihat sangat kontras dengan langit abu-abu bernuansa oranye. Sebuah pemandangan yang priceless. Aku pun memilih jalan terus ketika orang-orang banyak yang berhenti untuk ngefoto pelangi tersebut (nggak mau rasis sih, tapi kebanyakan yang foto itu kita kita orang Asia hahaha. Eh, tapi ada juga beberapa orang lokal yang ngeluarin hapenya di tengah jalan dan ngejepret pemandangan itu).

Lucunya, saat aku jalan, didepanku ada seorang wanita muda berpakaian formal yang terlihat lagi ngejar pemandangan bagus itu. Aku perhatiin ekspresi mukanya yang sumringah banget, sampe-sampe aku ngebayangin dia ada di sebuah scene film drama Korea (yang nggak pernah aku liat juga sih. btw jadinya sangat stereotipikal gini ya, maaf maaf). Dari situ aku tetep memutuskan jalan terus tanpa berhenti dan memotret pemandangan itu, dengan alesan pengen "enjoying that priceless moment". Cie. Tapi bener lho. Kadang kalo sambil motret itu fokus kita terbagi 'kan, kita jadi nggak konsentrasi menikmati hal-hal yang (mungkin) lebih indah kalo diliat dari mata telanjang. Bukan dari lensa kamera.

Kamis, 18 Juni 2015

Ke Mascot mengambil titipan makanan dari Surabaya dan lanjut nonton Game of Thrones

Siang hari itu aku spontan pergi ke kawasan Mascot untuk menemui Tante Fara, temennya Papa. Aku naik train dari Central Station menuju Mascot Station dan jalan kaki ke apartemen beliau. Pas sampe disana, Tante Fara langsung mempersilahkan masuk dan ngeliatin titipan ikan bandeng dari Papa. "Papamu itu ngirim 24 biji bandeng ke rumah Mami Tante lho, Kiza. Coba, ini Tante apa disuruh jualan bandeng di eBay?" canda beliau. Aku langsung melongo. "Kiza nggak nyangka juga kalo Papa ngirimnya bakal sebanyak gitu, Tante," timpalku sambil nyengir-nyengir. Aku lirik plastik abu-abu yang ada di samping kitchen. "Oke, jadi ini punyamu ya, Kiz. Duh maaf Tante nggak punya plastik bagusan. Plastiknya 'menye-menye' gini." kata Tante Fara sambil buka-buka rak lemari di dapur. "Oh, tenang aja, Tante. Kiza udah siap kok." Aku segera ambil tas hitam yang merupakan merchandise "Jakarta Whiplash '93 (re-revisited)", sebuah performance art karya Wok The Rock dan Lara Thoms yang ditampilin di 4A Centre for Contemporary Asian Art pada 31 Mei 2015 kemarin. "Semoga cukup," gumamku saat coba memindah dan memasukkan items yang ada di plastik abu tadi ke tas hitam itu. Oke, ternyata cukup! Aku dan Tante Fara pun mengobrol asik sampai jam 14.45an. Aku memutuskan pulang saat itu juga karena Tante Fara harus ke City satu jam lagi.

Saat di stasiun kereta, aku agak worried karena ikan bandeng yang kubawa ini baunya kuat banget! Aku langsung merasa nggak pede dan segera ngencengin pengikat tas itu supaya ga bikin polusi udara. Haha. Sesampe dirumah, aku dan Audrey ngobrol sepanjang malem tentang banyak hal. Mostly tentang relationship sih, walaupun kami berdua lagi sama-sama sendiri. But still, it's interesting to know other person's opinion tentang suatu hal. Jadinya kita ngobrol dan ngobrol, sampe Shawn, housemateku satunya, dateng and joined our conversation. Capek ngobrol, Audrey berinisiatif ngajak nonton Game of Thrones. Dia tanya terakhir aku nonton season 4 yang episode berapa. Aku bilang aku nggak inget. Kita langsung nyoba scrolling through the episodes dan aku pikir aku berhenti di Season 4 Episode 1. Akhirnya malem itu kami kelesotan di ruang tamu berbekal laptopku dan nonton serial yang selalu bikin para housemateku histeris ini.

Free salad dari manajemen apartemenku. We love free foods! :)))


Jumat, 19 Juni 2015

1. Window shopping di Broadway Shopping Centre dan Salvos

Siang hari itu Audrey dan Vanessa ngajak aku ke Broadway Shopping Centre buat ke Priceline dan Coles. Audrey bilang kalo setelah itu kita bisa ke Salvos atau The Salvation Army Store untuk ngecek baju-baju secondhand. Aku langsung setuju dan ikutan dua temen cewekku ini jalan kaki dari apartemen ke mall. Vanessa tanya apakah aku puasa hari ini. Aku jawab iya dan mereka balik tanya apakah aku sahur. Aku jawab lagi, "Nope. I didn't." "Oh, if I were you, I just couldn't do it (fasting)," kata Audrey. Vanessa menyetujui juga. Aku ketawa dan bilang kalo aku sering skip sahur, jadi nggak masalah buat aku.

Kami pun sampe juga ke mall itu dan toko yang pertama kami kunjungi ialah Rebel Sport. Begitu masuk ke toko olahraga tersebut, entah kenapa aku langsung ngebatin, "Kenapa yah aku nggak doyan olahraga?". Haha maksudnya, begitu liat baju-baju olahraga itu aku ngerasa biasa aja. Nggak yang antusias pengen ngeliatin bajunya satu-satu, cari yang didiskon dan yang terlucu, nggak sama sekali. Abisnya kalo aku amatin, sportswear sekarang makin lucu-lucu dan warna-warni. Kayaknya balik lagi juga ke tren jaman dulu dimana sportswear punya pattern yang lucu-lucu, cukup bikin yang make dan yang liat makin semangat *halah*. Jadinya aku hanya melenggang santai di toko itu sambil main hape, sementara Audrey dan Vanessa nyobain celana ketat untuk nge-gym gitu. Dalem ati aku ketawa sendiri liat diriku. Buat jogging aja dulu aku pake kaos kegedean, jumper kampus dan celana pendek tidur warna item. Boro-boro mau beli celana sporty nan gaul punya Nike yang harganya mayan banget, mending beli sneakers :p But I know, mungkin untuk orang lain hal kayak gitu itu termasuk preference dan kenyamanan mereka juga. So, fine-fine aja sih.

Kelar keluar masuk toko didalem Broadway Shopping Centre (aku cuma beli headwear dan anting berbentuk bulan sabit di Lovisa, mumpung diskon :p), aku dan Audrey menuju Salvos karena Vanessa harus nge-gym di daerah Glebe. Pas sampe di Salvos, aku langsung ke section outerwear dimana emang aku lagi butuh yang agak tebelan di musim dingin ini. Sayangnya, aku nggak nemu item yang cocok buat aku. Disamping ukurannya juga pada gede semua (nasib badan kecil dan pendek), aku juga kurang suka sama modelnya. Aku pikir daripada item itu bakal sering nggak aku pake, mending nggak aku beli. Kadang lucu gitu ngeliat gimana sekarang aku lebih 'mikir' kalo mau beli baju. Semakin bertambah umur, semakin aku ngerasa baju yang aku beli itu harus long last dan kalo bisa, bewarna gelap. Kalo dulu, aku doyan banget sama baju-baju yang berpattern rame dan kadang bewarna cukup bold dipadu aksesori yang mencolok. Sekarang? Rasanya aku lebih sederhana in terms of style. Contoh aja, sekarang kalo musim dingin gini, aku doyan pake legging item, baju longgaran yang nutupin bagian panggul kebawah, terus outerwear abu-abu oversized kesukaanku. Oh, plus sepatu Docmart atau Vans Oldskool favoritku. Minim warna dan minim hal yang mencolok. Aku jadi inget Tavi Gevinson, fashion blogger yang sekarang pindah profesi jadi editor-in-chief Rookie. Dulu perasaan doi style-nya aneh-aneh gitu, sekarang makin gede makin sederhana kalo aku perhatiin. Makin kayak 'layaknya orang biasa'. Kenapa yah begitu? I mean, kenapa semakin berumur kita semakin 'don't give a sh*t sama signature style kita'? Well, untuk beberapa orang sih mungkin hal ini nggak berlaku ya, seperti Diana Rikasari yang masih setia dengan gaya khasnya. Hm, yang jelas menarik juga kalo ditelusurin nih.

2. Dinner di Ramen Zundo dan dessert di Max Brenner Chocolate Bar (lagi)

Bingung mau buka puasa dimana, aku segera text Anty dan ngajak doi makan bareng. Pilihan kita jatuh pada "yang anget-anget" seperti Ramen. Seperti biasa, I have no idea tentang best places to eat di Sydney karena seperti yang aku bilang, makanan berasa "enak" dan "biasa" itu tipisss bedanya di lidahku. Menurutku sama aja dan syukur-syukur udah bisa makan, jadi aku semacem 'nggak tega' bilang "Ih, makanan ini nggak enak!", kecuali kalo emang rasanya ancur dan sampe bikin mau muntah ya (apa coba), hehe.

Akhirnya pilihan kita jatuh pada Ramen Ikkyu di Sussex Street. Sebelum jalan kesana, aku taruh dulu belanjaan makananku dari Coles di apartemen Anty. Pas sampe di Shopping Centre yang "menaungi" Ramen Ikkyu itu, aku baru nyadar kalo hapeku nggak ada. "Coba diinget-inget terakhir dimana. Apa mungkin di tas Platypus kamu?" kata Anty. Aku langsung inget shopping bag dari toko Platypus yang kugunakan buat ngebungkus belanjaan. Hm, mungkin kali ya. Pas pegang hape aku nggak sadar kalo hapenya 'nyemplung' di tas itu. Aku pun nggak ambil pusing dan ngajak Anty jalan terus ke tempat Ramennya. Sesampe disana, kita baru notice kalo ingredientsnya mengandung pork, jadinyalah kita memutuskan buat pindah tempat. Padahal penasaran sih rasanya gimana, abisnya reviewnya bagus sih :)

Yaudahlah, kami berdua finally ended up makan di Ramen Zundo, sebuah resto ramen di dalam World Square Shopping Centre. Pas baca menunya, kami bolak balik plin-plan akan makanan apa yang bakal kami order. Awalnya keukeuh banget 'kan pengen nyoba ramen ayamnya, terus pas liat menu udonnya yang lengkap sama ayam karage dan ayam teriyakinya... kami jadi makin bingung. "Ini kalo puasa gini bisa kayak pengen makan semuanya ya. Semuanya terlihat menarik," kata Anty sambil ketawa. Aku ikut nyengir menyetujui itu. Setelah makanan datang, kami sama-sama makan udon dengan lahapnya sampe aku nggak mampu ngabisin nasi di piringku. Abis banyak banget! Agak merasa bersalah sih, karena Papa selalu ngingetin kalo makan usahain 'bersih' dan habis semuanya. Iya juga sih, kalo nggak abis itu kesannya kayak nggak mensyukuri nikmat-Nya gitu yah, tapi gimana dong. Namanya juga kenyang banget. Selesai makan, aku dan Anty naik bis balik ke apartemen dan memutuskan untuk minum hot chocolate di Max Brenner Chocolate Bar, Central Park. Malam yang mengenyangkan!

Sabtu, 20 Juni 2015

Mengunjungi Open Marrickville dan dinner bareng housemate

Memasuki hari Sabtu, aku urungkan niatku ke Glebe Market karena cuaca yang nggak bersahabat. Aku pilih stay di rumah aja sampe jam setengah 5 sore, dimana aku mulai beranjak dari apartemen buat ke daerah Marrickville. Ya, Karina mengundangku dateng ke acara Open Marrickville, sebuah acara 10 hari yang menampilkan bakat dan kreativitas dari 57 budaya. Aku salut sih sama konsepnya, dimana dijelaskan kalo acara ini tuh "Share ideas, hospitality, understandings and the humanity connecting us all". Jadi menurut pemahamanku, Open Marrickville ini adalah cultural festival yang celebrating diversity, mengingat populasi para migrants di Australia yang "relatively large" dibanding "other Western nations". Contohnya mereka yang berasal dari Luxembourg, Israel, Switzerland, New Zealand, Canada, United States dan lain-lainnya. Jadi, mungkin Open Marrickville ini berguna untuk 'menaikkan' intercultural understanding kita terhadap budaya lain, dimana itu akan bikin kita semakin appreciate perbedaan tersebut dan respect sama mereka. Well, ini opiniku yah.

Anak-anak SD di Sydney menari Ratoh Duek dengan dipandu Suara Indonesia Dance Group.
Sepulang dari acara Open Marrickville, dimana aku ngeliat anak-anak SD performing tarian Randa dan Ratoh Duek yang berasal dari Aceh (keren!), aku menuju Pie Tin buat beli dinner. Sambil menahan hawa dingin, aku jalan cepet-cepet ke apartemen dan berkumpul sama Audrey, Vanessa, Peter, Shawn dan Andrew. Ceritanya Vanessa lagi masak pasta dan sup jamur, terus dia bilang kalo mungkin aku nggak bisa makan pastanya karena ngandung babi. Aku bilang it's okay karena aku punya pie gemuk didepanku, hehe. Akhirnya malem itu kita makan besar sampe masing-masing dari kami kekenyangan dan aku tidur cepet di jam 11 malem.


Minggu, 21 Juni 2015

Thrifting di C's Flashback Secondhand Clothing dan Vinnies

Udah jadi rencanaku pagi itu buat ke toko secondhand demi mencari coat. Sebenernya lucu juga keputusanku itu kalo dipikir-pikir, abisnya aku sempet punya 'on and off relationship' sama barang-barang secondhand. Dulu taun 2008-2009 pas awal-awalnya aku aktif di Surabaya Fashion Carnival, aku gandrung banget sama namanya baju bekas. Sesekali aku ke kawasan Gembong, cari atasan-atasan oke dengan harga murah bareng temen atau cari sepatu boots bekas yang 'trendi'. Tapi memasuki taun 2010an, dimana brand-brand lokal mulai bermunculan dan kualitasnya bagus-bagus, aku mulai ninggalin kesukaanku terhadap secondhand stuffs. Perlahan aku mulai ngerasa semacem, "Mending beli baju dari brand ini aja. Selain karena kualitasnya bagus dan aku cocok sama brand personality-nya, itung-itung juga support karya bangsa sendiri 'kan.

Kebiasaan itu berlanjut sampe aku mulai pindah ke Sydney, dimana thrifting stores banyak banget di Newtown, suburb kediamanku. Aku perhatiin toko-toko secondhand ini punya barang berkualitas dan relatively quite large in terms of store size yah. Berarti 'kan cukup menghasilkan gitu yah bisnisnya. Sampe-sampe di suatu waktu aku ngobrol sama Lisa Heinze, seorang pecinta fashion dan environmentalist yang juga penulis buku "Sustainability with Style". Saat itu, aku mewawancarai beliau as part of my uni assignment dalam acara Clothes Swap di kampus. Dari interview dengan Lisa yang concern banget akan sustainable fashion, aku jadi terinspirasi untuk makin "considerate" sebelum membeli baju. Aku harus mikirin tentang keadaan dan kelangsungan pieces of clothing yang aku beli itu, kayak siapa yang ngeproduksi itu, apakah mereka di-treat secara fair dan aman, akankah baju ini bisa aku pake 5 taun berikutnya, apakah baju ini cukup mudah untuk di-mix and match dengan yang lainnya, dan apakah baju tersebut benar-benar merefleksikan siapa aku.

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menurutku perlu di-consider sebelum membeli pakaian. Udah aku jelaskan diatas juga 'kan kalo makin gede, aku makin merasa lebih nggak muluk-muluk tentang style. Yang penting nyaman, longlast, dan mudah dikombinasikan dengan baju lainnya. Jadinya aku mulai mempertimbangkan untuk mulai beli barang-barang secondhand lagi. Aku pikir-pikir nggak ada salahnya juga pake baju 'bekas orang', karena terkadang untuk beli baju baru itu kita semacem "support" (baca: ngasih duit) ke brand yang dimana kita nggak tau apakah mereka politically aligned sama kita. Maksudnya, apakah mereka punya work ethics yang bagus dimana para workers are being treated fairly in a safe condition, ataupun mungkin lebih simpel lagi, mereka punya value-value yang sesuai dengan karakter kita. Wih mayan berat dan serius ya. Tapi bener sih, sejak acara Clothes Swap yang merupakan bagian dari peringatan Fashion Revolution Day itu, aku jadi makin "aware" sama baju-baju yang aku beli. Walopun kadang aku nggak bo'ong juga kalo beli barang itu karena simply, they're cute and so gorgeous ya, but at least udah consider hal-hal yang selama ini sering kita ignore.

Anyway... akhirnya aku balik lagi suka barang-barang secondhand di Sydney. Abisnya mereka lebih unik, murah, dan itung-itung kita save environment juga 'kan karena termasuk berpatisipasi dalam 'recycling' process suatu baju itu. So, siang itu aku menuju C's Flashback Secondhand Clothing di 180 King St, Newtown. Pandanganku pertama tertuju pada sebuah dungaree lucu di etalase depan, tapi aku putuskan nggak beli itu karena inget umur dan emang bukan tujuanku kesana buat cari atasan itu. Aku cari coat, titik, gitu batinku sambil berusaha "menahan" godaan. Aku liat-liat denim jacket yang nangkring di salah satu part toko itu, but sayang nggak ada yang cocok sama aku warnanya dan mereka seemed too big for me. Maklum badan orang Asia yah. Aku pun menuju bagian belakang dimana coat-coat atau outerwear yang lebih tebel banyak bergelantungan. Pilihanku jatuh ke bomber jacket Tweety yang playful gitu. I'm not really a big fan of this character, but the jacket is uber cute. Tuh 'kan, susah juga buat bener-bener ngebalance pikiran-pikiran 'serius' diatas tadi sama alesan simpel namun powerful macem "because it's cute". Akhirnya aku beli deh jaket itu, itung-itung nanti kalo udah bosen, aku bisa kasih ke adekku :p

Kelar dari C's Flashback Secondhand Clothing, aku menuju Vinnies yang gak jauh dari situ. Karena hari Minggu, toko tersebut rame dan nggak kayak biasanya. Aku segera ke rak-rak outerwear yang ditaruh didepan dan menemukan two pieces of outerwears yang aku suka. Semuanya below AUD 25. Padahal salah satu baju merk itu kalo harga new bisa diatas AUD 50, so I considered myself lucky. Lagian baju-baju ini juga pas banget jatuhnya di badanku, nggak kegedean ataupun kesempitan. Warna gelap lagi. Pasti gampang buat di mix and match. Akhirnya sore itu aku pulang ke apartemen dengan hati puas. Hore!

Comments