Kenapa manusia ... (?)
Seberapa tinggi, banyak dan hebatkah kemampuan manusia yang diperlukan untuk bisa menjadi ‘utuh’?
Apa saja variabel yang dibutuhkan sehingga manusia dapat tentukan kualitasnya?
Adakah masa yang dialokasikan tersendiri untuk manusia agar ia bisa mengukur seberapa pantas dirinya disebut sebagai manusia?
Apa yang sebenarnya menjadikan manusia sebuah entitas ‘penuh’ dan ‘lengkap’?
Uang banyak? Rumah besar? Gelar bertumpuk? Level karir tertinggi?
Pasangan rupawan? Tubuh langsing? Banyak pengagum?
Followers ribuan? ‘Likes’ ratusan? Adidas Superstar? Nike Roshe?
Bergaya 90an? Bergaya minimalis? Musik indie? Bergabung dengan band?
Memakai cadar? Ke gereja tiap Minggu? Bersujud lima waktu? Meditasi tiap pagi?
Ke gym tiap hari? Yoga di akhir minggu? Menjadi vegan? Mengurangi manis-manis?
Apa sebenarnya yang menjadikan manusia seorang ‘manusia’ tanpa harus berhubungan dengan kebarangan, kenikmatan, keterlebihan, keimanan, dan kekuatan?
Apakah variabel-variabel itu adalah ‘harus’ bagi kita untuk memberi nilai kualitas terhadap seorang manusia (dengan kadang seenaknya sambil menutup mata; tanpa mengulik dan memahami realitas tersembunyinya)?
Apakah ini sebenarnya privilege yang diberikan masyarakat kepada manusia, yang sebenarnya adalah entitas kosong namun murni seperti saat ia keluar dari rahim?
Seberapa pantaskah seorang manusia untuk memberikan perspektif (apalagi stereotip) terhadap manusia lain?
Mengapa ada ketidakadilan bagi manusia?
Mengapa seorang manusia terkadang merasa ‘kurang ‘ dibanding manusia lainnya?
Mengapa timbul rendah diri? Mengapa timbul rasa ingin berkompetisi? Mengapa ingin menang? Mengapa ingin lebih? Mengapa ingin sukses?
Apa sebenarnya yang ingin dicapai seorang manusia?
Apakah kuantitas material tertinggi yang tak berkesudahan?
Ataukah kepuasan mutlak yang dijemput dengan usaha maksimal?
Bagaimana manusia bisa disebut ‘manusia’?
Perlukah embel-embel kata sifat dibelakangnya?
Jika iya, seberapa kuatkah manusia bisa bergantung dengan kerelatifan?
Dalam keadaan tidak pasti dan tidak statis…
Bisa diolor-olor, mudah berubah!
Sangat kontekstual, perlu pemahaman bijak
Kadang menggamangkan dan merisaukan…
Kadang mengundang ego: “aku lebih dari kamu”
Tidak bisakah manusia hidup berdampingan, merayakan perbedaannya masing-masing?
Segala warna itu apabila dikumpulkan dan diorganisir sedemikian rupa, maka akan jadi pelangi ‘kan?
Bukankah itu indah? Bukankah itu menakjubkan?
Mengapa ada ambisi untuk sama?
Mengapa ada determinasi untuk konformitas
Mengapa ada mimpi untuk keserasian?
Apa sebenarnya tujuan manusia hidup dengan manusia lain?
Apa gunanya bermasyarakat kalau hanya timbulkan tekanan dan ketidaknyamanan?
Apa gunanya bermasyarakat kalau kebaikan dilakukan semata-mata untuk menyenangkan seorang manusia, sementara manusia lain masih mengemis untuk kebahagiaan?
Apa gunanya bermasyarakat kalau individualisme dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif?
Apa gunanya kita ada berdampingan dan terkoneksi?
Apa untuk berlomba-lomba meraih “paling”?
Atau semata-mata hanya bertukar cerita,
Atau malah membandingkan nasib, sehingga mengundang kepentingan “Aku” dan sibuk mengukur nilai masing-masing pada akhirnya?
Untuk siapakah sebenarnya nilai itu?
Untuk manusia lain?
Atau untuk Tuhan? (Akan tetapi Tuhannya siapa?)
Atau untuk The Higher Self atau apalah itu yang disebut ketika diri mencapai tingkat consciousness tertinggi?
Oh, atau jangan-jangan untuk diri sendiri?
Tapi untuk apa kalau akhirnya inner peace berlaku hanya sementara?
Karena ia harus menandingi ombak dan badai pikiran keruh yang berada diluar kontrol manusia?
Mengapa manusia sangat terobsesi dengan nilai yang (mungkin) bisa dikatakan ilusi hanya karena kerelatifannya… ketidakpastiannya?
Sekali lagi, apa yang menjadikan manusia ‘penuh’, ‘utuh’, dan disebut ‘manusia’?
Haruskah manusia selalu mengudang manusia lain untuk mengukur kualitasnya?
Lalu apa arti kesendirian bagi manusia?
Sydney, 21 Januari 2016 pukul 1:32 dini hari
Selamat datang 2016!
Apa saja variabel yang dibutuhkan sehingga manusia dapat tentukan kualitasnya?
Adakah masa yang dialokasikan tersendiri untuk manusia agar ia bisa mengukur seberapa pantas dirinya disebut sebagai manusia?
Apa yang sebenarnya menjadikan manusia sebuah entitas ‘penuh’ dan ‘lengkap’?
Uang banyak? Rumah besar? Gelar bertumpuk? Level karir tertinggi?
Pasangan rupawan? Tubuh langsing? Banyak pengagum?
Followers ribuan? ‘Likes’ ratusan? Adidas Superstar? Nike Roshe?
Bergaya 90an? Bergaya minimalis? Musik indie? Bergabung dengan band?
Memakai cadar? Ke gereja tiap Minggu? Bersujud lima waktu? Meditasi tiap pagi?
Ke gym tiap hari? Yoga di akhir minggu? Menjadi vegan? Mengurangi manis-manis?
Apa sebenarnya yang menjadikan manusia seorang ‘manusia’ tanpa harus berhubungan dengan kebarangan, kenikmatan, keterlebihan, keimanan, dan kekuatan?
Apakah variabel-variabel itu adalah ‘harus’ bagi kita untuk memberi nilai kualitas terhadap seorang manusia (dengan kadang seenaknya sambil menutup mata; tanpa mengulik dan memahami realitas tersembunyinya)?
Apakah ini sebenarnya privilege yang diberikan masyarakat kepada manusia, yang sebenarnya adalah entitas kosong namun murni seperti saat ia keluar dari rahim?
Seberapa pantaskah seorang manusia untuk memberikan perspektif (apalagi stereotip) terhadap manusia lain?
Mengapa ada ketidakadilan bagi manusia?
Mengapa seorang manusia terkadang merasa ‘kurang ‘ dibanding manusia lainnya?
Mengapa timbul rendah diri? Mengapa timbul rasa ingin berkompetisi? Mengapa ingin menang? Mengapa ingin lebih? Mengapa ingin sukses?
Apa sebenarnya yang ingin dicapai seorang manusia?
Apakah kuantitas material tertinggi yang tak berkesudahan?
Ataukah kepuasan mutlak yang dijemput dengan usaha maksimal?
Bagaimana manusia bisa disebut ‘manusia’?
Perlukah embel-embel kata sifat dibelakangnya?
Jika iya, seberapa kuatkah manusia bisa bergantung dengan kerelatifan?
Dalam keadaan tidak pasti dan tidak statis…
Bisa diolor-olor, mudah berubah!
Sangat kontekstual, perlu pemahaman bijak
Kadang menggamangkan dan merisaukan…
Kadang mengundang ego: “aku lebih dari kamu”
Tidak bisakah manusia hidup berdampingan, merayakan perbedaannya masing-masing?
Segala warna itu apabila dikumpulkan dan diorganisir sedemikian rupa, maka akan jadi pelangi ‘kan?
Bukankah itu indah? Bukankah itu menakjubkan?
Mengapa ada ambisi untuk sama?
Mengapa ada determinasi untuk konformitas
Mengapa ada mimpi untuk keserasian?
Apa sebenarnya tujuan manusia hidup dengan manusia lain?
Apa gunanya bermasyarakat kalau hanya timbulkan tekanan dan ketidaknyamanan?
Apa gunanya bermasyarakat kalau kebaikan dilakukan semata-mata untuk menyenangkan seorang manusia, sementara manusia lain masih mengemis untuk kebahagiaan?
Apa gunanya bermasyarakat kalau individualisme dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif?
Apa gunanya kita ada berdampingan dan terkoneksi?
Apa untuk berlomba-lomba meraih “paling”?
Atau semata-mata hanya bertukar cerita,
Atau malah membandingkan nasib, sehingga mengundang kepentingan “Aku” dan sibuk mengukur nilai masing-masing pada akhirnya?
Untuk siapakah sebenarnya nilai itu?
Untuk manusia lain?
Atau untuk Tuhan? (Akan tetapi Tuhannya siapa?)
Atau untuk The Higher Self atau apalah itu yang disebut ketika diri mencapai tingkat consciousness tertinggi?
Oh, atau jangan-jangan untuk diri sendiri?
Tapi untuk apa kalau akhirnya inner peace berlaku hanya sementara?
Karena ia harus menandingi ombak dan badai pikiran keruh yang berada diluar kontrol manusia?
Mengapa manusia sangat terobsesi dengan nilai yang (mungkin) bisa dikatakan ilusi hanya karena kerelatifannya… ketidakpastiannya?
Sekali lagi, apa yang menjadikan manusia ‘penuh’, ‘utuh’, dan disebut ‘manusia’?
Haruskah manusia selalu mengudang manusia lain untuk mengukur kualitasnya?
Lalu apa arti kesendirian bagi manusia?
Sydney, 21 Januari 2016 pukul 1:32 dini hari
Selamat datang 2016!
Comments
Post a Comment