Trip: Yogyakarta - bag. 2 (Desember 2011)

Hari 3 (30 Desember 2011) : Terjun dalam banyak perbincangan

Sebenernya saya gak suka dipijet, tapi pagi itu saya melakukannya. Namanya mbak Ina, seorang ibu umur 40an (seharusnya saya panggil beliau Ibu kan, tapi saya terbiasa panggil ‘mbak’) yang dengan telaten memijat badan saya. Agar kerasa gak membosankan, sesekali saya ajak beliau ngobrol dan akhirnya perbincangan kami mengarah pada pengalaman beliau jadi tukang pijet. Kata mbak Ina, sehari beliau bisa memijat 3-4 orang dengan waktu yang fleksibel. Hasilnya, tak jarang pula mbak Ina harus pulang larut malam dengan bersepeda sendirian. Pernah suatu hari beliau diikuti oleh seorang pria pengendara motor. Modusnya klasik; si pria ini berjalan pelan-pelan di belakang, lalu mendekat, dan berhenti tiba-tiba didepan mbak Ina. Si pria itu lantas menyeletuk, “Arep neng ndi, Mbak? (Mau kemana, Mbak?)”. Mbak Ina spontan menjawab, “Yo arep mulih neng omahku, Mas! Arep neng ndi maneh! (Ya mau pulang ke rumahku mas! Mau kemana lagi!)”. Lalu dengan sangat ‘tidak bertanggung-jawab’, pria itu langsung ngacir dan meninggalkan mbak Ina yang kebingungan. Ah, jaman sekarang orang emang aneh-aneh, begitu kesimpulan saya ketika mbak Ina selesai bercerita.

Selesai pijet, saya bergegas mandi dan berangkat ke rumah Bude Linda dengan Papa. Saya ketemu dengan 2 sepupu, yaitu mas Angga dan mas Rio; lalu duduk di kursi tamu sambil lanjut baca novel. Mas Angga pun menghampiri dengan menyodorkan segelas minuman dingin. “Wah apa ini, Mas?” tanya saya. Doi ngejawab, “Itu lho minuman cokelat yang ada Oreo-nya.” Saya jadi semangat tiba-tiba. Langsung saya seruput minuman itu dan merasakan nikmat luar biasa (oke ini berlebihan!) di tenggorokan. Buatan rumah tapi gak kalah sama yang di kafe-kafe! Hihi. Akhirnya adzan Dhuhur pun terdengar dan Papa-mas Angga-mas Rio berangkat sholat Jumat. Selesai mereka sholat Jumat, saya pergi berempat dengan para sepupu (kali ini ketambahan mbak Reta) untuk sekedar hang-out. Tujuan pertama adalah Kalimilk (cabang Seturan) dan mencicipi susu dingin rasa pisang. Ah, benar-benar favorit! Saya jadi pengen kesana lagi. Menjelang sore, kami melanjutkan acara ke Plaza Ambarrukmo. Disana kami ke Carrefour, beli Bakpia Pia untuk oleh-oleh, dan makan siang di Tamansari food court. Asiknya, di meja makan tersebut kami terlibat perbincangan tentang gay, rokok, dan pacaran beda agama. Topik yang serasa ‘dewasa’, jauh ketika kami masih bicara tentang ‘hari ini mau main sembunyi-sembuyian gak?’….(ya iyalah)

 Inilah satu gelas susu Kalimilk Hazelnut ukuran medium.
(pstt.. ada yang ukuran Gajah loh!)

Merasa kekenyangan dan kelelahan, akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing. Saya diantarkan ke rumah Eyang dan berdiam sejenak di kamar. Mengistirahatkan kaki dan membaca novel (lagi). Waktu pun bergulir, tak terasa sudah sampai pukul 9 malam. Papa pun mengajak saya untuk menjemput Mama yang lagi reuni SMA di daerah Kaliurang. Saya langsung mengiyakan; kangen rasanya lewat Kaliurang. Namun sayang sekali, malam itu Jogja sangat dingin dan mengharuskan saya untuk bersembunyi dibalik shawl ‘fesyenebel’ yang dibilang Papa seperti sarung.

Hari 4 (31 Desember 2011) : Pulang ke Surabaya!

Menyadari kemampuan masak yang masih ‘jongkok’, pagi itu saya berinisiatif untuk membantu Tante Nora di dapur. Sudah pasti pekerjaan yang ‘diturunkan’ pada saya bukanlah yang berkenaan dengan kompor dan api, melainkan dengan piring dimana saya harus ‘menyetak’ bentuk sebuah lumpia. Dengan tangan yang awalnya kaku, saya jadi terbiasa menggulung kulit lumpia yang tipis itu dengan smooth. Hahaha, saya jadi pengen ketawa sendiri. Gitu aja bangga, siapa aja juga bisa kali!. Saya jadi ngebatin, “Saya mau gak bisa masak sampe kapan sih. Malu banget ni nanti kalo udah nikah gak bisa jadi istri yang baik.” #ngoook

Kelar bikin lumpia, saya lalu mengambil sapu dan bersih-bersih lantai rumah Eyang (bagian depan aja sih, abis keliatan ‘keset’ banget). Saya pun ngebatin (lagi. oke hari ini ilmu kebatinan saya terasah), “Pintar masak dan giat bersih-bersih rumah itu memang nilai plus seorang wanita! Saya harus bisa itu!”. Hihihi sekali lagi saya rada naïf, tapi begitulah di pikiran saya. Seorang wanita berusia 21 tahun yang masih nggak bisa masak, belom rajin bersih-bersih rumah, jarang mencuci baju sendiri apalagi menyetrika, dan hidup dalam budaya Timur di era modern.

Menjelang pukul 1 siang, akhirnya saya dan Papa harus pamit untuk pulang ke Surabaya. Saya peluk Eyang Mami dengan erat (badan beliau memang selalu enak dipeluk!), saya cium beliau beberapa kali, dan saya lambaikan tangan ketika akan naik mobil. Seketika sampai stasiun dan jarum jam menunjuk pukul 2 siang tepat, kereta saya datang dan kami meninggalkan Jogjakarta.

Sampai jumpa lagi kota favorit!

P.S #1 : Too bad, saya males bawa kamera kemana-mana. Jadinya minim gambar deh. Semoga tidak bosan ya!

P.S #2 : Mungkin saya gagal tanya-tanya Eyang tentang kisah leluhur. But, look what I've got..

Potret Bertha Suzanne Wolf.
Buyut saya.

Comments

  1. maturnuwun udah mampir ke Bakpiapia Djogdja (@bakpiapia) :) klo ke jogja mampir lagi ya... :) have a nice trip :)

    ReplyDelete
  2. pasti! keluarga saya ketagihan bakpiapia djogja! terima kasih :)

    ReplyDelete

Post a Comment