Pulang

Saya teringat sebuah slogan tentang peringatan berkendara di jalanan Surabaya. Disitu tertulis - saya lupa pastinya seperti apa- namun paling tidak terdengar seperti “hati-hati lah saat berkendara, keluarga menunggu di rumah”. Waktu melihatnya sih saya tidak berpikir macam-macam. Saya rasa kalimat itu cukup efektif untuk mengingatkan para pengguna jalan agar selalu berhati-hati: mematuhi peraturan lalu lintas, menghindari kecelakaan fatal, dan yang paling penting lagi, untuk pulang ke rumah dengan selamat.

Tapi, pernahkah kamu berpikir mengapa hubungan antara dua konsep, “hati-hati” dan “keluarga menunggu dirumah” terdengar menyentuh, sehingga sebabkan rasa takut untuk menjadi serampangan di jalan? Mengapa kata “keluarga” dan “rumah” dipilih untuk mengingatkan mereka yang sedang ‘commuting’ agar menjaga keselamatannya di jalan? Mengapa disitu seakan-akan ingin dikatakan bahwa kembali ke rumah dengan badan yang utuh adalah penting? Apakah karena ada orang-orang terkasih di jarak yang berbeda, yang mungkin gelisah atau tidak sabar menunggu kita pulang?

Ini sebenarnya bukan masalah mengkritisi cara pemerintah berkomunikasi dengan pengendara di jalan, tetapi lebih ke ide “kembali ke rumah dengan selamat/utuh”.

***


Sudah dua minggu lebih saya kembali ke Surabaya dan tinggalkan Sydney. Tugas disana telah selesai. Saya telah diwisuda untuk program S2 dan dianugerahkan transkrip studi yang (untungnya) memuaskan. Waktu untuk tinggal di kota yang awalnya asing tersebut juga telah habis, karena visa pelajar sudah tidak valid lagi sejak 21 Februari 2016. Saya tidak punya pilihan selain membeli tiket pesawat jurusan Sydney-Surabaya dan meringkasi barang-barang di apartemen, memeluk para teman dekat dan mengatakan selamat tinggal. Saya tidak punya pilihan selain membiarkan waktu bergulir sampai di hari saya berada di terminal internasional bandara Sydney, menarik koper-koper besar.

Intinya saya datang untuk kembali. Pulang ke tempat dimana semestinya saya menutup mata dan bersembunyi dibalik selimut tiap malam. Tertidur pulas, bermimpi tentang hal-hal random yang membuat kening berkerut, lalu terbangun pada dini hari. Tempat dimana saya berjalan sempoyongan ke kamar kecil sambil sayup-sayup mendengar adzan Subuh dari kejauhan. Tempat dimana pada pagi harinya mata ini terbuka pelan-pelan karena bisingnya kendaraan bermotor didepan rumah dan derap langkah si adik yang siap pergi ke sekolah.

Kembali pulang ke rumah semestinya terasa menyenangkan setelah perpisahan berbulan-bulan. Coba kukatakan padamu, melihat kembali wajah orangtua saat kamu siap memulai hari adalah hal yang tiada duanya. Raut muka apapun yang terlihat pada hari itu tidak menjadi masalah. Tak peduli saat itu sang Ayah terlihat senewen karena seseorang lupa mematikan power komputer atau sang Ibu yang tampaknya terhibur melihat lelucon konyol di layar handphonenya. Pemandangan itu seolah-olah menjadi tetesan air segar untuk dahagamu akan kebersamaan. Sungguh, yang paling penting adalah perasaan damai ketika tahu mereka hanya berjarak dua pintu dari kamu.

Makanan sederhana yang terletak di meja makan pun seakan-akan menjadi santapan spesial. Saya teringat betapa dahulu harus menahan lapar beberapa malam hanya karena kebosanan dan kemampuan memasak yang minim. Mie goreng hangat dengan telur ceplok memang sebuah mahakarya dapur bagi para mahasiswa perantau, namun saya sadar bahwa konsumsi berlebih dapat menimbulkan anomali pada tubuh. Pada akhirnya, saya pilih untuk membuat sesuatu apa adanya. Berbekal pengalaman melihat teman serumah yang terbiasa berhadapan dengan panci, saya mencoba meniru hal-hal yang mereka lakukan pada makanan.

Sayangnya, kebiasaan itu tidak berlangsung lama. Saat itu saya berpikir bahwa memasak adalah hal yang ribet dan memakan waktu, sehingga saya pilih cara praktis namun tetap sehat. Walaupun begitu, aku ingat masa-masa dimana masakan sendiri adalah pencapaian yang luar biasa; mengingat ketersediaan makanan yang selalu diusahakan ‘mbak’ di rumah Surabaya dulu. Saya juga teringat bagaimana makanan menjadi salah satu ungkapan bersyukur pada Kekuatan yang lebih besar disana. Untuk itu, saya selalu pastikan bahwa piring di siang hari itu bersih tak bersisa, tak peduli seberapa besar porsinya melebihi yang biasanya dikonsumsi. Akibatnya, bobot tubuh ini tak terkontrol karena saya juga malas berolahraga teratur.

Jalanan yang semerawut di kota asal pun tampak ‘menghibur’. Telah lama saya tidak melihat pengendara motor yang tiba-tiba menyelonong dari sebelah kiri dan melakukan belokan tajam didepan. Telah lama juga saya tidak mengerem mendadak karena ada seseorang yang muncul dari sisi jalan dan hendak menyeberang, padahal situasinya sedang mengerikan dengan laju kendaraan-kendaraan yang cepat. Telah lama saya tidak menahan nafas kesal karena hampir tidak ada satupun kendaraan yang mengalah dan memberi jalan, tidak peduli berapa lama lampu sein kendaraanmu berkedip. Semua itu saya anggap adalah peristiwa-peristiwa ironis namun khas dan menjadi sesuatu yang dimaklumi di Surabaya. Namun setelah saya dimanjakan dengan sistem transportasi Sydney yang lebih rapi, kejadian-kejadian tersebut seakan-akan membuka mata dan menantang saya untuk berbaur ke rutinitas jalanan tiap harinya.

Kembali ke rumah dengan selamat tentunya adalah harapan orang-orang terdekat kita di kota asal. Semua mengharapkan kita kembali ‘utuh’ setelah lama berpergian. Badan kita masih lengkap, jari jemari tangan masih bisa digunakan untuk mengetik kalimat “Pa, Ma, aku sudah sampai” saat pesawat landai, serta betis dan telapak kaki yang kuat untuk melangkah mantap menuju pintu keluar bandara. Setiap doa yang dilontarkan pun biasanya berhubungan dengan keadaan fisik, seperti mengharapkan pesawat terbang dengan aman dan lancar agar para penumpang sampai dengan selamat dan utuh. Namun, seringkah ada perhatian kepada sesuatu yang tak terlihat pada diri? Misalnya saja yang paling sederhana: perasaan?

Mereka bisa saja melihat kamu sebagai sesuatu yang utuh, tetapi mungkin mereka tidak melihat ada yang ‘hilang’ dari diri tersebut. Untuk hal ini, jelas saja orang lain tidak bisa menilai langsung pada saat ia tersenyum menyapa dan memelukmu erat. Mereka akan baru bisa menarik kesimpulan setelah interaksi yang cukup frequent dengan kamu.

Lalu, sebenarnya apa yang ‘hilang’ dari diri ini saat kembali ke rumah dari bepergian yang cukup lama? Saya sendiri belum terlalu yakin akan jawabannya. Namun pastinya, saya bukanlah diri saya yang dulu. Tulisan Haruki Murakami dalam “Sputnik Sweetheart” mungkin dapat mengilustrasikan keadaan tersebut. Bunyinya seperti ini, “I have this strange feeling that I'm not myself anymore. It's hard to put into words, but I guess it's like I was fast asleep, and someone came, disassembled me, and hurriedly put me back together again. That sort of feeling.”

Ya, sepertinya “disassembled” adalah kata yang tepat. Hidup di luar negeri ternyata memaksa saya untuk perlahan-lahan keluar dari zona nyaman, beradaptasi dengan kebudayaan baru dan meninggalkan beberapa paham yang kurasa menghambat kesejahteraan hidup. Setiap harinya seakan-akan harus dilewati dengan melakukan negosiasi pada diri saat itu. Contohnya, memasukkan perspektif baru kedalam kotak pemikiran dan membuang yang lama, atau menolaknya mentah-mentah namun ternyata proses adaptasi dengan lingkungan baru tidak dapat berjalan lancar.

Pemandangan dari jendela kamar di Sydney, Agustus 2015

Proses bongkar pasang pemikiran tersebut mengantarkan saya pada ide sebelumnya, yaitu pada perasaan ‘kehilangan’ saat kembali pulang ke kota asal. Kehilangan disini maksudnya adalah perasaan yang menganggap sebuah diri tidak ‘utuh’ karena sebagian diri tersebut ternyata masih mengendap di tempat yang awalnya baru bagimu, namun pelan-pelan menjadi ‘rumah kedua’. Karena disebut rumah kedua, maka kamu merasa bahagia berada disitu. Kamu merasa bisa menjadi diri kamu yang sesungguhnya, kamu merasa sangat nyaman. Akan tetapi sayangnya, tidak selamanya kamu bisa terus tinggal disana karena sebetulnya itu hanyalah rumah sekundermu. Badan dan perasaan kamu tidak dapat berbohong akan kententraman yang penuh dengan memori pada rumah pertama kamu, kota asal kamu. Seterlenanya apapun kamu, ada perasaan longing untuk kembali walaupun pada kenyataannya kamu berakhir dengan perasaan ‘tidak utuh’. Hati dan pikiranmu telah terbagi untuk dua tempat, yaitu kota asalmu dan kota baru yang telah kamu tinggali cukup lama di hari kemarin.

Hal itu bahkan ditangguhkan dengan adanya pertimbangan-pertimbangan yang muncul ketika kamu hendak memutuskan sesuatu. Kamu sadar bahwa perspektif baru yang didapatkan di kota baru tersebut telah menghasilkan diri yang baru juga, baik pada pemikiran dan sikap. Namun nyatanya, tidak seterusnya perspektif baru itu sesuai untuk diterapkan di kedua tempat, baik di kota asal ataupun di kota baru. Maka dari itu, kamu butuh untuk terus bernegosiasi dengan sekeliling dan menentukan sikap yang sesuai dengan batas-batas yang berlaku di tempat tersebut, walaupun itu dilakukan setelah melakukan bongkar pasang beberapa kali demi ‘bertahan hidup’.

Jadi, apa yang sebenarnya "hilang" hingga tidak merasa seutuh itu ketika kembali? Entahlah. Mungkin kebebasan berekspresi yang sebelumnya tidak ditemukan di rumah asal. Mungkin juga rasa berdaulat atas diri sendiri, kemampuan untuk menentukan sesuatu dan merencanakan kelangsungan hidup untuk satu hari dan seterusnya, atau bahkan hanya rasa overwhelmed akibat perbedaan budaya di masing-masing tempat. Mungkin.

***

Comments