Pindah Kuliah: Refleksi Akhir

Tahun 2011 dan 2013 lalu, saya share pengalaman pindah kuliah di blog. Yang pertama ceritanya tentang gimana saya memutuskan pindah kuliah sampe dapet hasil memuaskan di semester awal, yang kedua tentang gimana kelanjutan cerita saya di tempat perkuliahan baru.

To my surprise, meskipun sudah lewat bertahun-tahun, dua posts tadi masih banjir komen dari temen-temen mahasiswa yang mengalami hal sama. Ada yang sama-sama bimbang, putus asa, takut... tapi ada juga yang ngerasa bersemangat, termotivasi, semakin percaya diri dan yakin sama keputusannya buat pindah kuliah. Nggak jarang pula ada beberapa orang yang muncul sebagai pengkritik dan penengah. Yang jadi pengkritik biasanya cenderung menyalahkan keputusan temen-temen yang mau/sudah pindah kuliah, alasannya karena kami - yang pindah kuliah ini - dianggep manja/nggak mau berusaha lebih keras/gampang menyerah. Yang jadi penengah, biasanya hanya menyimak cerita-cerita yang lagi curhat tapi sudah teguh dengan pendiriannya untuk stay di jurusan dan kampusnya sekarang. Melalui 268 komen (termasuk balasan saya), pindah kuliah jadi semacem isu yang perlu saya tanggepin lagi setelah menyelesaikan program master.

***

Maka hari ini saya memutuskan untuk menulis lagi tentang pindah kuliah. Saya harap ini jadi tulisan terakhir tentang topik tersebut, karena sebetulnya cerita teman-teman tadi cukup membuat saya resah.  Mengapa banyak mahasiswa/i yang merasa tidak cocok dengan jurusan atau kampusnya sekarang? Mengapa ada rasa tertekan, malu, tidak percaya diri, takut saat akan pindah kuliah? Mengapa begitu banyak dilema antara kuliah vs kerja, keputusan pribadi vs tanggapan masyarakat, diri vs ortu, kebahagiaan individu vs standar sosial? Untuk menanggapi itu, saya sadar akan kapasitas diri sebagai orang biasa di masyarakat. Saya bukanlah konselor profesional, bukan juga orang yang sangat wise hingga jadi 'jujugan' buat nentuin pindah/tidak pindah kuliah. I mean, siapalah saya ini? Saya cuma berbagi pengalaman dan perspektif saya tentang pindah kuliah. Itu saja. Takutnya nanti ada yang menganggap saya sumber satu-satunya dalam pertimbangan pindah kuliah. Atau worst, menganggap saya provokator karena telah membuat teman-teman tadi terinspirasi untuk pindah juga.

Beruntung sampai saat ini belum ada yang menganggap saya provokator. At least belum ada yang komen di postingan saya seperti demikian. Akan tetapi poin sebenarnya adalah saya resah karena terus menerima curhatan teman-teman yang merasa harus pindah kuliah, apapun itu alasannya. Saya resah karena merasa ada hal yang harus dibenahi dan diluruskan.

Untuk teman-teman yang telah berbagi cerita dan minta saran di komen blog, email, private message Twitter dan Instagram, pertama-tama, saya minta maaf karena nggak bisa membalas itu semua satu persatu. Menyimak problem kalian yang beragam membuat saya harus berhenti sejenak membahas topik pindah kuliah hingga hari ini. Saya nggak mau tanggapan saya malah 'membelokkan' kalian. Jadi, sebisa mungkin kemarin-kemarin saya balas dengan masukan yang netral - dengan tetap menghormati hak dan peran teman-teman sebagai individu di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sebisa mungkin saya tidak melupakan keberadaan orang tua yang biasanya dianggap sebagai tantangan utama sebelum pindah kuliah (karena telah membiayai). Sebisa mungkin juga saya tidak melupakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masyarakat seperti merasa 'missed out' diantara teman-teman lain yang telah berhasil atau buruknya, sampai dikucilkan karena pindah kuliah sederhananya tidak sesuai dengan standar sekitar dan mungkin dianggap tidak 'normal'.

Kedua, saya tidak mengerti keadaan teman-teman sepenuhnya, jadi mohon maaf apabila masukan dari saya terdengar sangat general. Butuh waktu untuk mengenal diri teman-teman hingga sampai ke permasalahan pindah/tidak pindah kuliah. Saat teman-teman curhat ke saya, saya hanya mengerti sepotong konteks yang mestinya tidak ditanggapi mentah-mentah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan kalian, seperti yang saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Entah itu tentang diri kalian, orang tua masing-masing atau masyarakat sekitar. Saya paham bahwa permasalahan pindah kuliah ini adalah salah satu hal serius, walaupun tidak terdengar sebegitunya apabila kita sudah menapaki dunia kerja atau berumah tangga. Saya paham juga bahwa kebahagiaan diri kalian masing-masing adalah penting. Jadi, masih berhubungan dengan poin pertama, kemarin saya berusaha menjadi senetral mungkin dalam menanggapi curhatan teman-teman Semoga membantu ya dan tidak malah 'membelokkan' kalian :).

Hal ketiga yang ingin saya luruskan adalah informasi tentang pindah kuliah. Banyak juga yang bertanya kepada saya bagaimana cara pindah dari kampus A ke kampus B, apakah harus mengulang dari awal, bagaimana kalau tertinggal dan sebagainya. Untuk pertanyaan pertama dan kedua, saya sarankan untuk mengecek ketentuan yang berlaku di kampus sekarang dan kampus yang dituju. Pergi ke bagian kemahasiswaan dan tanya ke pihak yang bisa dipercaya/memiliki wewenang untuk berbicara tentang ketentuan meninggalkan kuliah, transfer studi, cuti dan lainnya. Setiap kampus punya peraturannya sendiri-sendiri, jadi coba cari tahu dulu sampai paham sebagai bentuk antisipasi. Kalau sudah merasa informed, silahkan langsung melakukan prosedur yang diminta kampus sekarang dan yang dituju. Untuk pertanyaan ketiga tentang 'ketinggalan', itu sudah pasti kalau kalian mengulang dari semester awal. Tapi perlu diinget kalau ketinggalan disini maksudnya ketinggalan dari temen-temen seangkatan kalian yang pastinya lulus lebih duluan. Bukan diantara temen-temen baru kalian yang juga baru mengawali perkuliahan.

Terakhir, saya pengen bilang kalau kuliah nggak mesti ngikutin passion kok. Sekedar cerita aja, dulu waktu SD saya selalu bercita-cita jadi arsitek. Sampe-sampe jari saya selalu menunjuk meja gambar arsitek kalo main ke Gramedia, membayangkan sedang duduk manis dan menggambar dengan penggaris. Kelihatan keren pokoknya. Menginjak bangku SMP dan SMA, keinginan menjadi arsitek kandas begitu saja karena nyatanya saya nggak doyan ilmu pasti. Doyannya sama yang nggak pasti-pasti (haha becanda), I mean, yang berhubungan dengan bahasa dan ilmu sosial walaupun hasil akhir studi saya pas-pasan karena bermalas ria. Lulus SMA, saya dan 3 sahabat mencoba membuat blog Surabaya Fashion Carnival dan disitulah saya merasa kalau jurnalistik sangat menyenangkan. Memuaskan rasanya bisa mencari tahu, berkenalan dengan orang baru, mendapatkan jawaban, dan mendokumentasikannya melalui tulisan atau foto/video. Disaat yang sama pula, saya merasa desain komunikasi visual (DKV) adalah bidang yang cocok untuk saya. Suka menggambar dan berimajinasi, saya sempat yakin jadi graphic designer di masa depan. Pertengahan kuliah, mood saya naik turun, saya jadi tidak segemar itu dengan DKV dan akhirnya memutuskan pindah jurusan dan kampus.

Tidak pernah terpikir sebelumnya untuk mengambil jurusan sastra. Yang ada di pikiran waktu itu hanyalah jurusan komunikasi yang harapannya bisa mendukung kegemaran jurnalistik saya. Tapi kenyataan berbicara beda. Jurusan Sastra Inggris lah yang membawa saya ke prestasi gemilang saat wisuda S1. Lulus Cum Laude dengan IPK 3.82, siapa yang menyangka sebelumnya? Rasanya Kiza yang males-malesan jaman SMP-SMA nggak cocok dapet predikat demikian. But that was real, I tell you, setelah ngebut kuliah dan berusaha keras biar nilai ga jatuh ke C (yang merupakan langganan pas di jurusan DKV dulu). Menginjak bangku S2, saya mencoba keinginan terpendam yaitu kuliah di bidang komunikasi. Media Practice merupakan bidang yang saya pilih karena masih berkenaan dengan jurnalistik. Untung-untung lagi pas wisuda, berhasil lulus dengan presentase nilai di kategori Distinction. Kelar sama program master, saya ambil sertifikat 1 semester di jurusan Digital Communication and Culture. Ternyata saya suka banget sama topiknya yang relatable banget di jaman sekarang, meskipun lulusnya dengan nilai Credit (1 poin lagi udah masuk Distinction, zzz). Hingga sekarang, jurusan Digital Communication and Culture tersebut mengantarkan saya ke pekerjaan pertama setelah lulus S2, yaitu pengajar mata kuliah e-fashion di sebuah universitas swasta.

Kalau ditinjau ulang sejak lulus SD, sebenernya saya nggak ngikutin passion sampe sebegitunya kok ketika memilih jurusan perkuliahan. Yang ada malahan saya menemukan hal-hal yang saya sukain ketika berkuliah. Saya belajar hal baru dan menemukan potensi serta kesempatan disitu. Setelah itu, saya mencoba untuk memaksimalkan discovery tersebut. Jadilah passion baru yang ternyata berkelanjutan di tahapan hidup saya selanjutnya.

***

All in all, cerita panjang saya ini maksudnya simpel. Kadang kita terlalu lama berpikir bahwa jurusan kuliah harus sesuai sama passion dan ketika nggak dapet, kita malah kecewa dan merasa harus pindah karena takut nggak bisa maksimal. Kalau kata saya sekarang di tahun 2016; setelah drama pindah jurusan dan kampus, masa labil menuju twenty-something, lulus S1 dan S2, passion bukanlah yang penting. Temen-temen harus 'jeli' membaca keadaan sekitar and stay open minded. Bisa jadi jurusan yang kalian merasa nggak cocok sekarang itu bisa lanjut ke kesempatan-kesempatan lain yang menarik. Bahkan mungkin lebih menarik dan nggak pernah disangka.

Sekarang jamannya orang bisa banyak hal, jadi perlu untuk mencoba hal baru dan explore kemampuan kalian. Banyak-banyakin bergaul dengan berbagai macam orang agar bisa memperluas jaringan. Siapa tahu kedepannya orang-orang tersebut bisa jadi partner saat teman-teman pengen bikin project. Jurusan apapun sekarang juga nggak masalah kok, yang penting soft skill terasah dan kita bisa melihat bright side dari 'salah jurusan' tadi. Inget, pindah kuliah bukan segalanya. Pindah cara berpikir itu yang penting, walaupun memang tricky dan butuh komitmen.

Jadi kira-kira begitu yang bisa saya sampein ya. Sekali lagi terima kasih buat teman-teman yang sudah mengkontak saya. Mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa membalas satu persatu. Makanya, saya membuat postingan ini. Semoga 'refleksi akhir' pindah kuliah ini bisa membantu kalian ya. I wish you all for the best!

Comments