Madura: Dari Bukit Kapur Jaddih sampai ke Api Abadi

Tahun 2016 ini memang dipenuhi dengan perjalanan-perjalanan yang unexpected. Tanggal 9-10 November kemarin, saya sempatkan melancong ke Pulau Madura bersama rombongan ibu-ibu alumnus ITB.

Perjalanan 2 hari tersebut bisa dibilang cukup padat, melelahkan tapi menyenangkan. Saya salut dengan energi ibu-ibu ini. Sepanjang perjalanan mereka tidak berhenti bersenda gurau, tertawa, meledek satu sama lain, bernyanyi, berfoto ria... meskipun jumlah lokasi yang kami kunjungi mengharuskan mereka untuk bergerak lebih di usia 50an. Melihat ibu-ibu (dan 1 bapak) yang gembira ini, saya jadi ikut semangat padahal sebelumnya sempat ogah-ogahan mau berangkat.

Day 1, 9 November 2016: Bandara Juanda - Bukit Kapur Jaddih - Bebek Sinjay - Pantai Camplong - Api Abadi - Masjid Agung Sumenep - Hotel Musdalifah 

Pukul 05.30 pagi Papa mengetuk pintu kamar. "Dek, dek, bangun," begitu katanya. Mata saya langsung terbuka, kaget. Saya lihat jam dinding, yah masih 30 menit lagi dari jatah bangun 'sesungguhnya'. Sambil mengucek mata, saya bangunkan diri dan tiba-tiba teringat sesuatu. Ah iya belum packing. Saya lihat jam dinding lagi. Kalau nggak salah ketemuan di bandara jam 8 pagi. Oke, masih ada waktu untuk packing, sarapan dan mandi. Badan masih lemas, saya langsung membereskan tempat tidur dan ke meja makan untuk sarapan sereal favorit. Selama sarapan, muka saya masih masam karena jatah tidur yang berkurang 30 menit tadi. Entahlah, mungkin dari sananya memang nggak suka dibangunkan. Maunya bangun sendiri dengan alarm yang sudah dipersiapkan malam harinya. Tapi ya sudahlah, itung-itung kasih waktu tambahan buat packing.

Selesai memasukkan baju untuk jatah semalam di ransel dan mandi 'ekspres', saya bersiap di ruang keluarga dengan rambut yang masih basah. Mama, Papa, Diva si adek, semua sudah siap. Ina dan Dilla, dua anak teman Papa, datang menyusul. Kami berangkat bersama menuju meeting point, Bandara Juanda. Di Bandara, saya disambut oleh muka-muka baru yang terlihat cheerful di pagi itu. Mereka adalah teman-teman Papa di kampus ITB dulu. Ini memang bukan pertama kalinya saya jalan-jalan dengan teman Papa. Yang pertama adalah perjalanan ke Belitung tahun 2013, tapi dengan orang-orang yang berbeda. Walaupun begitu, 'vibe'-nya pun sama: bersemangat, penuh tawa, penuh ledek, menyenangkan dan lively sekali deh pokoknya. Berjalan-jalan dengan orang baru pun jadinya less awkward karena suasana hangat dan ceria.

Setengah jam kemudian, kendaraan Elf kami datang menjemput. Tante Erma, tour guide perjalanan kali itu, adalah seorang ibu berusia kira-kira late 40s yang doyan becanda. Jokes yang ia lontarkan sukses bikin saya, Ina dan Dilla cekikikan di barisan belakang. Beliau juga bolak-balik meledek Om Djoko yang merupakan laki-laki satu-satunya di rombongan, disamping Mas Dessy sang driver. Perjalanan dari bandara ke Bukit Kapur Jaddih, tujuan pertama kami, jadi tidak membosankan walaupun diam-diam kami was-was karena gelapnya langit.


Bukit Kapur Jaddih yang terekam di layar handphone
Sudah 3 kali saya ke Bukit Kapur Jaddih, tapi tidak pernah sekalipun ke spot Danau Biru. Ternyata cukup cantik jika dilihat dengan mata telanjang (dan sangat Instagramable ketika di layar handphone). Langit makin gelap dan dibawah terlihat ada pasangan yang sedang melakukan sesi foto pre-wed. Gerimis mulai turun, kami mulai merapat hingga hujan deras disertai angin menyambar Bangkalan. Baju kami basah dan harus sedikit mengigil terkena AC dalam mobil. Waktu yang sudah dialokasikan untuk mengunjungi Mercusuar Sembilangan dan Bukit Kapur Arosbaya pun harus dikorbankan karena cuaca yang tidak memungkinkan. Salah satu peserta dari rombongan menyaut, "Kita tadi belum berdoa 'kan pas berangkat? Nah ini nih, makanya kena ujan." Masing-masing langsung merasakan 'oh-iya moment'. Kami lupa berdoa sebelum memulai perjalanan!

Bebek Sinjay

Tante Erma memutuskan untuk membawa kami langsung ke Pamekasan yang berjarak 2,5 jam dari Bangkalan. Sebelumnya, kami diajak makan siang di Bebek Sinjay sambil menikmati angin dingin dari hujan pagi itu. Bebek Sinjay memang selalu enak. Gorengannya tidak berminyak dan dagingnya empuk. Porsi nasi putih yang jumbo pun sampai saya lahap habis karena saking lezatnya. 

Dari Bebek Sinjay, Elf kami melaju ke Pamekasan dengan tujuan pertama Pantai Camplong. Honestly, Pantai Camplong adalah pantai yang biasa saja. Cenderung kotor walaupun tidak sekotor Pantai Kenjeran, tapi tempat baru memang selalu menyajikan pemandangan berbeda. Disana rombongan kami tetap berfoto ria sambil sesekali didatangi masyarakat lokal yang menjual es degan. Oh ya, saat itu kami sedang berhenti di Restaurant Camplong, yang kata Tante Erma merupakan akses langsung ke pantai. Disana saya mencicipi kopi hangat dengan campuran jahe kepunyaan Tante Iin. Enak banget! Ada keinginan untuk memesan 1 cangkir penuh, tapi langsung saya urungkan karena takut tidak bisa tidur di jalan.

Pantai Camplong
Langit masih mendung :)




Dari Pantai Camplong, rombongan melanjutkan perjalanan ke objek wisata api yang tak kunjung padam di Desa Larangan Tokol, Pamekasan. Objek wisata ini juga dikenal dengan sebutan Api Abadi. Kenapa Api Abadi? Karena simply api disitu selalu menyala setiap harinya, bahkan katanya tidak akan padam walaupun diguyur air hujan. Penasaran, kami berjalan dari parkiran ke situs api tersebut. Begitu sampai, kami melihat selingkaran lahan yang dibatasi pagar dan api sedang menyala kecil. Ternyata memang benar, api tersebut muncul dari dalam tanah. Itu dibuktikan ketika ibu-ibu penjual jagung bakar tengah mencari sumber api yang lebih besar dengan memindahkan sebuah batu. WUZZ! Api besar langsung meluncur dari dalam.

Ibu penjual jagung bakar sedang mencari sumber api yang lebih besar. Tanpa alas kaki!
Warga lokal sedang memanfaatkan api abadi untuk memanaskan jerigen

Dari Pamekasan, kami melaju ke utara yaitu ke Sumenep dengan jarah tempuh sekitar 2 jam. Lumayan untuk kembali pulas di dalam kendaraan. Usai Maghrib, kami sempatkan berhenti di Masjid Agung Sumenep. Saya, Ina, dan Dilla memutuskan untuk tetap tinggal di mobil karena mulai capek, sedangkan para ibu tetap antusias untuk berfoto ria di depan masjid. Setelah itu, kami diajak makan malam di sebuah restauran lesehan yang saya lupa namanya (haha maaf!) dan disitu rombongan menghibur diri dengan lagu-lagu nostalgia.

Masjid Agung Sumenep

Rombongan di resto saat makan malam

Hotel Musdalifah Sumenep

Akhirnya tibalah waktu untuk beristirahat. Yay! Kami diantar ke hotel Musdalifah di jalan Trunojoyo. Diam-diam saya cekikikan mengingat pasangan Nassar - Musdalifah yang sempat heboh di TV, walaupun nggak ngikutin juga sih isunya apaan. Ya sudah begitulah cerita Madura Trip bagian pertama. Selamat malam kota Sumenep!

Comments