Madura: Dari Masjid Agung Sumenep ke Pantai Lombang

Day 2, 10 November 2016: Masjid Agung Sumenep - Museum Kraton Sumenep - Pantai Lombang - Desa Pasir - Air Terjun Toroan - Ole Olang

Malamnya saya tidur pulas dan bangun sebelum jam 6 pagi. Setelah mandi air dingin, kami sarapan nasi ayam di hotel. Awalnya agak hesitate buat langsung makan nasi pagi-pagi, tapi ternyata ayamnya enak hingga habis saya lahap. Pukul 8 pagi lebih, rombongan check out dari Hotel Musdalifah Sumenep.

Destinasi pertama di hari kedua trip Madura adalah Masjid Agung Sumenep. Di depan masjid yang didominasi warna kuning terang ini, kami berfoto dengan spanduk rombongan. Saya dan Mama mencoba masuk ke dalam dan mendokumentasikan suasana masjid. Kami berdua sempat disapa oleh penjaga masjid yang menanyakan kenapa kami tidak menyempatkan sholat di dalam. Mama menjawab dengan halus kalau kami diburu waktu dan harus berpindah ke tujuan selanjutnya. Penjaga itu tersenyum ramah dan meninggalkan kami. Saya jadi ingat kata Tante Erma, tour guide kali itu, bahwa tutur kata orang-orang Sumenep biasanya lebih halus dibandingkan kota lainnya di Madura. Istilahnya, Sumenep ini seperti Jogja/Solo-nya pulau Jawa, begitu.

Masjid Agung Sumenep




Tak jauh dari Masjid Agung Sumenep, kami mengunjungi Kraton Sumenep yang dibangun pada akhir abad ke-17. Arsitektur kraton ini dipengaruhi gaya dari Cina yang konon arsiteknya, Lauw Piango, memang seorang warga keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat kerusuhan di Semarang. Sebelum memasuki Kraton, kami singgah dulu ke Museum Kraton yang sudah buka dari jam 7 pagi. Disitu rombongan melihat-lihat peninggalan Kerajaan Sumenep. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Al-Qur'an besar dan sarana pengadilan dimana terdakwa langsung diadili oleh raja/ratu di alas duduk yang telah disediakan.


Museum Kraton Sumenep


Sarana Pengadilan jaman kerajaan dulu



Taman Sare di dalam Kraton Sumenep

Gerbang Tersenyum

Pawai Hari Pahlawan

Selesai mengelilingi Kraton Sumenep yang ternyata memiliki Taman Sare seperti Tamansari di kota Yogyakarta, rombongan kembali ke mobil. Dari balik kaca, saya melihat beberapa orang beranjak keluar untuk menyaksikan pawai Hari Pahlawan di sekitar Kraton. Ina bilang kalau di luar banyak adik kecil yang lucu. Maksudnya, mereka mengenakan kostum pernikahan dan diarak dengan becak yang sudah didekorasi hingga menyerupai pelaminan mini. Di satu sisi, aktivitas pawai ini menarik karena melihat suasana Kraton yang tiba-tiba riuh dan bewarna-warni. Namun di sisi lain, agak ironis juga karena adik-adik SD (atau TK?)nya didandani seperti pasangan yang sedang melangsungkan pernikahan. Saya jadi ingat isu pernikahan anak yang kerap diperangi di belahan dunia lain, khususnya Afrika.

Mengingat waktu yang tidak banyak, rombongan berpindah ke Pantai Lombang di Sumenep. Tante Erma bilang kalau pantai ini tidak kalah dengan Pantai Pangandaran di Ciamis. Katanya lagi, pemandangan pantai jadi makin cantik dengan adanya pepohonan Cemara Udang yang mengelilingi kawasan wisata itu. Sesampai disana, kami tidak berfoto dengan pepohonan Cemara Udang, malah di pepohonan besar yang memiliki akar cantik di area gazebo. Ibu-ibu rombongan jadi semakin bersemangat, karena mereka juga sedang kompakan mengenakan 'kain Bali'. Suasana semakin riuh hingga ibu-ibu tadi berpisah dengan saya, Mama, Ina dan Dilla. Kami berempat langsung menuju pantai dan menikmati pasir kecokelatan di bawah kami.

Menurut saya, Pantai Lombang akan lebih bagus lagi kalau tidak ada sampah-sampah kecil di sekitar. Maklum, kalau di pantai gitu 'kan kepinginnya duduk-duduk santai atau sambil tidur-tiduran diatas pasir. Tapi ya sudahlah, paling tidak pemandangannya sudah pemandangan alam, bukan gedung-gedung atau jalanan lagi :).







Kami menghabiskan waktu di Pantai Lombang selama satu jam. Tidak terasa! Akhirnya rombongan tergesa-gesa kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke Desa Pasir di pesisir Sumenep. Konon kata Tante Erma, disitu kita bisa melihat warga yang duduk-duduk santai di atas pasir sembari melakukan aktivitas sehari-hari. Di bayangan saya sih mungkin maksudnya lesehan di depan rumah gitu ya, seperti pemandangan kebanyakan di pinggiran kota. Tapi ternyata saya salah. Memang benar disitu terdapat kasur pasir, dimana salah seorang warga mengaku bahwa neneknya masih suka tidur disitu. Menurut Tante Inge dan Tante Iin yang sudah mencoba tiduran di pasir, 'kasur'nya enak karena pasirnya lembut dan hangat. Wah apa benar begitu ya?

Di perjalanan pulang kembali ke mobil, kami disambut ibu-ibu yang sedang memasak di pendopo suatu rumah. Mereka terlihat sangat welcome ketika salah satu dari kami mendokumentasikan kegiatan di siang hari itu. Malah ada yang minta difoto lagi. Tante Iin bertanya, "Bu, ini lagi masak apa?". Salah seorang Ibu menjawab bahwa mereka sedang mempersiapkan hajatan seorang warga. Dalam pikiran saya, wah yang kayak gini nggak mungkin ditemuin di perumahan kota. Mana ada sekarang yang mau bantuin tetangganya yang punya hajat? Kecuali yang masih dalam kawasan perkampungan ya, dengan gang-gang kecil, jarak antara rumah satu dan lainnya berdekatan, yang akhirnya mempermudah komunikasi dan sosialisasi antar warga. Cukup menyenangkan mengunjungi Desa Pasir!

Desa Pasir Sumenep

Mencoba kasur pasir
Sebelum meninggalkan Sumenep, kami menyempatkan makan siang di kedai yang lagi-lagi saya lupa namanya. Kebanyakan dari kami memesan Nasi Goreng Seafood karena katanya bakal cepat disajikan. Nasi gorengnya enak, walaupun porsinya kecil. Suasana makan siang kali itu pun makin hangat karena interior ruangan lantai 2 yang unik. Kami seakan-akan sedang berada di loteng rumah dengan atap miring. Sayangnya, saya lupa memfoto lantai 2 itu karena keasyikan makan :p. 

Kenyang dengan nasi goreng di perut masing-masing, rombongan bersiap untuk perjalanan 2,5 jam dari Sumenep ke Air Terjun Toroan di kabupaten Sampang. Saya, Ina dan Dilla langsung memejamkan mata, tidur pulas sambil duduk, sampai akhirnya terbangun karena rombongan yang meributkan rute. Om Djoko yang saat itu menggunakan aplikasi Waze bilang kalau seharusnya mobil kami belok ke kanan untuk ke Sampang, tapi Mas Dessy, drivernya, malah melaju terus. Mobil kami sempat berhenti di samping jalan untuk berdiskusi sejenak. Tidak peduli langit yang makin gelap, rombongan memutuskan untuk terus berjalan menuju Air Terjun Toroan.

Memasuki Sampang, kami meminta bantuan bapak-bapak setempat untuk mengantarkan sampai ke kawasan Air Terjun Toroan. Langit sudah gelap saat itu, mustahil bagi kami untuk melihat penunjuk jalan dan memperhatikannya dengan seksama. Sesampai di pintu masuk Air Terjun Toroan, kami kompakan menyalakan lampu torch handphone untuk membantu penerangan. Disitu memang tidak ada penerangan saat malam; ya iya lah siapa juga 'kan yang mau ke air terjun malem-malem kecuali mau semedi atau semacamnya. Dengan sedikit deg-degan, kami menuruni tangga sambil bergelap-gelapan. 

Foto failed di Air Terjun Toroan saat malam
BYUR! Terdengar suara air deras yang jatuh menerpa lautan. Air Terjun Toroan sudah di depan mata. Kami berdiri di atas beton yang baru dibangun untuk menikmati pemandangan dari pinggir. Sayang sekali kami baru bisa kesana saat malam, karena pas siang, saya yakin bakal bagus sekali pemandangannya. Dengan dibantu torch handphone, ibu-ibu rombongan berfoto ria dengan berbagai gaya. Sementara itu, saya, Ina, Dilla dan Om Djoko menyempatkan ngobrol dengan bapak-bapak setempat. Katanya dulu memang pernah ada yang meninggal di air terjun tersebut. Alasannya karena kecelakaan tunggal. Jadi diperkirakan si orang memutuskan untuk terjun dan berenang di sekitar air terjun (padahal dilarang), tapi beliau tidak sadar kalau laut itu cukup dalam dan banyak batu 'berserakan'. Hm, cukup seram juga ya kalau terpeleset ke bawah.

Om Djoko lantas mengingatkan rombongan untuk segera kembali ke mobil karena hari makin gelap dan bapak setempat itu harus kembali. Kami pun beranjak masuk ke Elf, mengantar si bapak tadi kembali ke tempat asalnya. Setelah itu mobil kami melaju ke Bangkalan yang jaraknya paling dekat dengan Surabaya. Di Bangkalan, Tante Erma mengajak kami makan malam di Ole Olang dan menikmati bebek goreng. Saya pribadi lebih memilih Bebek Sinjay karena Bebek Ole Olang cukup berminyak. Tapi, Bebek Ole Olang bisa dibilang enak dan nggak kalah dengan bebek goreng lainnya di Surabaya.

Menginjak pukul 9 malam, kami sampai di kota Surabaya dan disambut pemandangan Kalimas di malam hari yang menawan. Kendaraan kami berhenti di Garden Palace Hotel untuk drop off rombongan ibu alumnus ITB. Sayang sekali rombongan tidak bisa mencicipi es krim legendaris di Zangrandi karena tutup. Tidak masalah, saya sendiri sudah cukup pegal-pegal dan ingin langsung tidur pulas di atas kasur. Selamat malam kota Surabaya, terima kasih pulau Madura!

Comments